Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

KDRT: Penanggulangan Korban Masih Bias Gender

meskipun isu KDRT telah diatur dalam Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, spirit dari undang-undang tersebut untuk melindungi perempuan korban KDRT belum sejalan dengan sejumlah peraturan lainnya, seperti UU Perkawinan dan KUHP.nn
Ilustrasi/Antara
Ilustrasi/Antara

Kabar24.com, JAKARTA -- Jumlah kekerasan terhadap perempuan di Indonesia terus mengalami peningkatan.

Pemerhati isu gender, Dr. Dewi Haryani Susilastuti mengatakan meskipun isu KDRT telah diatur dalam Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, spirit dari undang-undang tersebut untuk melindungi perempuan korban KDRT belum sejalan dengan sejumlah peraturan lainnya, seperti UU Perkawinan dan KUHP.

“Penanganan hukum pada korban KDRT pun cenderung bias gender. Akibatnya, perempuan korban KDRT menjadi korban ganda karena sistem hukum yang tidak efektif dalam mengadili para pelaku,” jelasnya dalam acara Peringatan Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan Internasional seperti dikutip laman UGM, Kamis (26/11/2015)

Sementara itu pada level implementasi, kata dia, masih ada ketidakjelasan otoritas antarlembaga pemerintah baik secara vertikal maupun horisontal dalam menangani kasus kekerasan pada perempuan.

Terdapat konflik tanggung jawab antara Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak yang diberi mandat untuk menjadi lembaga pelayanan terbadu bagi korban KDRT dengan Kementerian Dalam Negeri yang diberi mandat untuk melakukan sosialisasi, monitor, dan evaluasi implementasi standar minimal layanan di level lokal.

Kondisi ini berdampak pada kompleksitas koordinasi dalam implementasi standar minimal layanan.

Bahkan, berdampak pada jumlah anggaran dan inefisiensi penggunaan anggaran untuk mengatasi kekerasan pada perempuan sehingga mempengaruhi pemberian layanan di tingkat mikro.

“Hasilnya, beberapa unit pelayanan tidak memiliki sistem pelayanan yang baik untuk memenuhi kebutuhan dari korban KDRT, karena kurangnya dukungan anggaran,” ujar dosen program Magister dan Doktor Studi Kebijakan (MDSK) UGM ini.

Menurutnya, perlu dilakukan perubahan terhadap kebijakan untuk memastikan harmonisasi antara hukum, keputusan, dan kompetensi pemerintah nasional maupun lokal dalam pelaksanaan pelayanan perlindungan wanita dengan baik.

Selain itu, membangun regulasi dan kebijakan dalam memberikan perlindungan pada wanita untuk memperjelas peran dan tanggung jawab antarlembaga pemerintah sehingga tidak terjadi duplikasi mandat dalam penanganan KDRT.

“Memastikan bahwa KDRT dan persoalan gender lain yang berbasis isu kekerasan menjadi sebuah prioritas dalam Renstra, rencana kerja, dan program kerja di Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak. Demikian halnya terkait anggaran untuk pelayanan korban KDRT juga harus masuk dan jadi prioritas dalam anggaran tahunan,” tegasnya.

Data Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada tahun 2014 menunjukkan jumlah kekerasan terhadap perempuan sebanyak 293.330 kasus.

Jumlah tersebut mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2013, yaitu sebanyak 279.688 kasus.

Adapun pola kekerasan terhadap perempuan masih didominasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan relasi personal sebanyak 68%.

Sementara itu, kekerasan dalam komunitas sebanyak 30%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Saeno

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper