Kabar24.com, JAKARTA - Koalisi Kebebasan Berserikat mengkritik pelaksanaan Undang-Undang Organisasi Masyarakat yang dianggap melindungi tindakan represif di berbagai daerah.
Fransisca Fitri, Koordinator KKB, mengatakan sejak disahkan menjadi undang-undang pada 2 Juli 2013, masih banyak kebijakan penerintah derah yang bertentangan dengan isi Undang-Undang. Padahal, penerapan UU Ormas seharusnya semakin memberi rasa aman dan kebebasan pada masyarakat untuk berserikat dan berkumpul.
"Berdasarkan pantauan dari 2 Juli 2014 hingga 2 Juli 2015 di seluruh wilayah Indonesia, praktek di lapangan semakin memperlihatkan watak represif UU Ormas," ujar Fransisca melalui siaran pers, Minggu (15/11/2015).
Dia mencontohkan sepanjang April 2015 muncul kebijakan lokal, seperti Qanun Kabupaten Aceh Utara tentang Kemaslahatan dan Ketertiban Umat, yang masih mewajibkan setiap ormas mendaftarkan diri dan mengurus ijin jika ingin melakukan kegiatan di Kabupaten Aceh Utara.
Padahal, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 23 Desember 2014 atas permohonan judicial review UU Ormas tidak dikenal lagi ormas berdasarkan ruang lingkup kewilayahan.
Contoh lainnya adalah perintah penghentian kegiatan suatu ormas dari pejabat Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat karena ormas tersebut tidak memperpanjang kepemilikan Surat Keterangan Terdaftar (SKT).
Di Kabupaten Gorontalo ada yang tidak diizinkan mengikuti acara pemda lantaran belum memperpanjang izin.
Fransisca mengatakan hingga kini KKB belum melihat efektifitas pemberlakuan UU Ormas. Dia menilai dalih penyusunan UU Ormas untuk menindak ormas yang melakukan kekerasan patut dipertanyakan lantaran masih banyak ditemukan perilaku ormas yang mengandung kekerasan.
"KKB berpandangan, mempertahankan keberadaan UU Ormas, yang sudah cacat sejak kelahirannya, hanya akan menambah deretan persoalan," ujar Fransisca lagi.
Karena itu, Koalisi meminta pemerintah dan DPR segera mencabut UU yang dianggap tak tepat itu. Pengakuan dan perlindungan terhadap kebebasan berserikat menurut Fransisca seharusnya berbasiskan pendekatan hukum, dan bukan pendekatan politik.