5. BANK INDONESIA: Tujuh Sektor Usaha Terpukul
Bank Indonesia (BI) menyatakan kabut asap kebakaran lahan dan hutan di Provinsi Riau berdampak negatif luar biasa terhadap perekonomian daerah, khususnya kepada tujuh sektor usaha yang terkena imbas langsung.
"Kami hanya menyempitkan ke tujuh sektor yang dinilai lebih mewakili karena langsung terkena dampak kabut asap," kata Deputi Kepala Perwakilan Kantor Bank Indonesia (BI) Provinsi Riau, Irwan Mulawarman, kepada Antara di Pekanbaru, Senin (26/10/2015) kepada Antara.
Tujuh sektor tersebut antara lain sektor transportasi, sektor jasa pengiriman, serta sektor perdagangan, penyedia akomodasi jasa makan dan minuman. Kemudian sektor jasa pendidikan dan kesehatan, sektor perkebunan, konstruksi dan properti, dan sektor perbankan.
Ia mengatakan kajian tersebut merupakan hasil survei cepat terhadap pelaku usaha di Kota Pekanbaru dan Dumai selama September hingga 1 Oktober 2015. Responden terdiri dari perusahaan, pemerintah daerah serta asosiasi pelaku usaha seperti Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos dan Logistik Indonesia (Asperindo), serta kalangan perbankan.
Ia menjelaskan kerugian paling besar ada pada sektor transportasi dan jasa pengiriman. Terhadap sektor transportasi, Irwan menjelaskan kabut asap menyebabkan terganggunya aktivitas Bandara Sultan Syarif Kasim (SSK) II Pekanbaru bahkan beberapa kali aktivitas penerbangan lumpuh. Akibatnya, penyedia jasa penerbangan mengalami penurunan omzet mencapai lebih dari 50 persen pada bulan September dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu (y-o-y).
"Atau diperkirakan penurunan omzet lebih dari Rp200 miliar untuk penjualan tiket pesawat selama September 2015, dan lebih dari Rp1,5 miliar untuk operasional Bandara, belum termasuk handling fee dan jasa lainnya yang terkait. Berlanjutnya kondisi asap sampai dengan bulan Oktober diperkirakan menurunkan omzet lebih dari 60 persen," katanya.
Kemudian sektor jasa pengiriman telah terjadi terganggunya pengiriman barang dari dan menuju Riau sehingga berdampak terhadap penurunan omzet jasa pengiriman barang mencapai 90 persen." Hal tersebut didorong oleh meningkatnya biaya distribusi sekitar 60 persen, akibat pengalihan rute pengiriman barang melalui Padang, Provinsi Sumatera Barat. Selain itu, ditambah komplain penalti atas keterlambatan pengiriman barang terutama produk makanan dan obat-obatan, serta penalti atas pengiriman atau billing statement perbankan," kata Irwan.
Menurut dia, imbas dari hal tersebut membuat perusahaan melakukan efisiensi dengan mengurangi pengeluaran dari tenaga kerja. "Perusahaan jasa kurir merumahkan pegawai mereka untuk sementara sampai kondisi normal," katanya.
Untuk sektor perdagangan, penyedia akomodasi dan makan-minum, Irwan menjelaskan terjadi penurunan omzet restoran mencapai 30 persen, kemudian pembelian makanan di pinggir jalan turun 30 persen dan perdagangan di pasar tradisional juga turun mencapai 40-50 persen. "Hal tersebut dikarenakan sebab utama keengganan masyarakat keluar rumah atau menurunnya aktivitas masyarakat".
Kemudian, menurunnya omzet penjualan makanan khas Riau atau oleh-oleh mencapai 70-80 persen, yang disebabkan oleh minimnya penerbangan sehingga sedikit tamu yang datang ke Pekanbaru. Usaha perhotelan juga mengalami penurunan tingkat hunian (occupancy rate) sebesar 20 persen untuk hotel bintang empat dan lima, serta penurunan lebih dari 40 persen untuk hotel bintang tiga ke bawah.
"Selain itu, juga terganggunya pasokan barang-barang ke hotel karena menurunnya kinerja usaha pemasok kebutuhan hotel lebih dari 40 persen, termasuk kinerja hotel dan usaha turunannya. Mereka berpotensi merumahkan pegawai di toko dan penyedia oleh-oleh yang ujungnya adalah tingkat pengangguran bisa meningkat," kata Irwan.
Irwan mengatakan analisa BI terhadap kerugian dari asap ini bersifat kajian awa,l dengan arti datanya belum final. Sebabnya, dari kuisoner kepada responden masih ada data yang belum lengkap.
"Bisa jadi datanya belum akurat jadi perlu ada kajian selanjutnya untuk membuatnya lebih akurat karena kebanyakan perusahaan tidak terlalu serius, sehingga bisa saja bias. Jadi, mungkin ini masih jauh dari kesempurnaan karena serba terbatas," kata Irwan Mulawarman.