Kabar24.com, SURABAYA—Para pelaku usaha hotel dan restoran mengaku keberatan dengan rencana Pemerintah Kota Surabaya menetapkan besaran yang tinggi terhadap retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol.
Melalui Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) BPD Jawa Timur, pelaku usaha di Kota Pahlawan mengajukan keberatan dan rekomendasi pembatalan terhadap rancangan peraturan daerah (raperda) kepada Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
Adapun, klausul yang ditolak para pengusaha adalah keharusan membayar retribusi dengan jumlah besar, yaitu Rp150 juta—Rp250 juta/tahun untuk hotel bintang 3 dan 4, serta Rp150 juta/tahun untuk restoran talam kencana dan talam selaka.
Ketua PHRI BPD Jatim Mochamad Soleh menjelaskan Pemkot Surabaya telah melakuan sosialisasi raperda itu pada 17 Juni, tanpa melibatkan pengusaha hotel dan restoran. Padahal, lanjutnya, pemain di bisnis tersebut berkaitan langsung dengan jual beli minuman beralkohol.
“Kami sangat menyesalkan pembahasan raperda tersebut tidak melibatkan kami sebagai asosiasi yang membawahi usaha hotel dan restoran di Surabaya, yang merupakan obyek dari raperda tersebut,” tegasnya, Rabu (24/6/2015).
Para pelaku usaha menilai raperda tersebut berpotensi membengkakkan beban biaya bagi usaha hotel dan restoran. Padahal, menurut Soleh, iklim bisnis hospitality di Jawa Timur saat ini sedang kurang kondusif.
Sekretaris PHRI Jatim Hari Setiyono berargumen selama ini para pengusaha sudah dibebani dengan kewajiban membayar izin dan pajak minuman beralkohol. Padahal, tujuan penjualan minuman beralkohol di hotel dan restoran adalah untuk menggaet turis asing.
“[Hotel dan restoran] menjual minuman beralkohol bukan semata untuk mendapatkan profit, tapi lebih untuk memenuhi kebutuhan tamu WNA yang menginap dan wisatawan mancanegara pada umumnya, sehingga mereka nyaman dan terpenuhi kebutuhannya,” ujar dia.
Selain itu, lanjutnya, raperda yang digagas Pemkot Surabaya tersebut dinilai bertentangan dengan semangat pemerintah pusat dan pemerintah provinsi untuk mempermudah dan menghilangkan beban biaya dalam berinvestasi.
PHRI Jatim sebelumnya sempat mengeluhkan kebijakan pembatasan PNS rapat di hotel, yang menyebabkan omzet pengusaha perhotelan di provinsi tersebut merosot 30%-50%. Padahal, sektor perhotelan memberi sumbangsih sekitar Rp400 miliar/tahun untuk daerah itu.
Selain itu, pendapatan pengusaha hotel dan restoran menurun karena lesunya geliat pariwisata di Jatim. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jatim, rata-rata lama menginap tamu asing di hotel berbintang pada April mencapai 2,63 hari, turun 0,97% dibandingkan Maret.
Sementara itu, jumlah kunjungan wisman ke Jatim yang masuk melalui Bandara Internasional Juanda pada bulan keempat tahun ini hanya mencapai 16.063 kunjungan, turun 1,68% dibandingkan bulan sebelumnya.
Di sisi lain, Pemkot Surabaya menyusun raperda tersebut pascaditerapkannya Peraturan Menteri Perdagangan No.6/2015. Dengan menaikkan retribusi, diharapkan harga minol di kota terbesar kedua di Indonesia itu menjadi semakin mahal dan hanya bisa diakses WNA.
Kepala Bidang Perdagangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Surabaya Didik Sahadi berpendapat raperda retribusi tersebut sebenarnya difungsikan sebagai instrumen pemkot dalam rangka pembinaan dan pengawasan minuman beralkohol.
Oleh karena itu, sebutnya, penjualan minuman beralkohol di Ibu Kota Jawa Timur itu hanya diizinkan di tempat-tempat khusus, yaitu hotel, rumah musik, dan toko swalayan yang telah mengantongi izin khusus.