Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PENCEMARAN LINGKUNGAN: Riak Suram dari Toba (1)

RAMLAN TAMPUBOLON dan Siska Nainggolan punya kenangan bersama walaupun bukan sebagai pasangan kekasih. Tampubolon maupun Nainggolan bekerja sebagai nelayan kecil asal Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba Samosirsatu kabupaten yang terletak di bibir Danau Toba, Sumatra Utara.

RAMLAN TAMPUBOLON dan Siska Nainggolan punya kenangan bersama walaupun bukan sebagai pasangan kekasih. Tampubolon maupun Nainggolan bekerja sebagai nelayan kecil asal Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba Samosir—satu kabupaten yang terletak di bibir Danau Toba, Sumatra Utara.

Mereka punya cerita manis untuk dikenang dalam 4 tahun terakhir tentang ikan pora-pora. Ini adalah jenis ikan yang sejak 10 tahun belakangan beranak-pinak dan mendatangkan keuntungan bagi nelayan di sekitar danau tersebut. Tak terkecuali mereka berdua. Keduanya sempat bekerja sama untuk membuat kerupuk dari ikan jenis itu, namun tak bertahan lama.

“Pada 2005, populasi ikan pora-pora sangat melimpah tapi dijual dengan harga rendah,” kata Tampubolon. “Aku berpikir bagaimana membuat harganya naik? Itu yang membuat kami mengolahnya menjadi krispi.”

Harga jual yang dimaksud Tampubolon adalah Rp500—Rp1.000 per kilogram, namun berubah menjadi Rp4.000 per kilogram, saat dirinya memulai usaha pengolahan kudapan tersebut. Aku bertemu keduanya pada September di satu wisma pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang terletak di Ajibata.

Keduanya diminta bercerita sebagai narasumber oleh para aktivis pers mahasiswa Universitas Sumatra Utara—Suara USU—dalam satu pelatihan jurnalistik soal bisnis dan hak asasi manusia. Tampubolon dan Nainggolan berkulit sawo matang dan berpostur gempal.

Usianya masing-masing 36 tahun dan 45 tahun. Cara cakapnya, tentu saja, khas orang Batak. Aku dan puluhan mahasiswa lain menyimak cerita keduanya. Di antaranya soal perubahan ekonomi keluarga.

“Satu minggu aku dapat Rp2 juta,  itu dengan satu pukat,” kata Nainggolan, ketika ditanya tentang awal perubahan hidupnya saat ikan pora-pora tengah berlimpah. “Dulu satu hari bisa menangkap hingga 50 kilogram. Sekarang 1 kilogram saja susah.”

“Usaha krispi itu beromset hingga Rp60 juta per bulan, dan aku memperkerjakan enam karyawan,” kata Tampubolon.” Kini tinggal satu karyawan. Lainnya ada yang menganggur karena bahan baku sulit.”

Penelitian Universitas Medan pada 2011 menyebutkan ikan pora-pora, atau ikan bilih, dikenal  juga dengan nama ilmiah Mystacoleucus Padangensis, yang berasal dari Danau Singkarak, Sumatra Barat. Riset itu juga mengungkapkan ikan pora-pora bisa berkembang di Danau Toba karena tersedianya pakan melimpah untuk spesis tersebut macam plankton, detritus dan sisa makanan dari keramba jaring apung.

Selain itu, Danau Toba juga jauh lebih luas dari Danau Singkarak, dengan total luas perairan 1.130 kilometer persegi. Ikan yang berwarna keperak-perakan itu rata-rata memiliki panjang badan sekitar 11 sentimeter.

Ajibata punya perahu-perahu kecil di tepian danau. Keramba jaring apung yang juga tak berjauhan. Kapal-kapal wisata yang terlihat lalu-lalang. Rumah-rumah kayu dengan tempat penjemuran ikan. Anak-anak kecil yang bermain. Atau kedai kopi, tempat para nelayan berbincang.

Aku sendiri melihat ikan pora-pora ketika mendatangi satu kedai, tak jauh dari tempat pertemuan hari itu. Seorang nelayan, Hasudungan Saragih, yang tengah beristirahat dengan suka rela memperlihatkan ikan tersebut dan meletakkannya di atas meja untuk dipotret.

Namun, dia pun mengeluhkan hal serupa, seperti yang disampaikan Tampubolon dan Nainggolan. Ketiganya mengakui penangkapan ikan pora-pora skala besar—hingga jenis terkecil—mempengaruhi jumlah spesis itu hingga kini.

“Satu orang saja bisa sampai 12 pukat,” kata Tampubolon. “Ikan ini, dari cucu sampai kakeknya ditangkap, sehingga punah.”
“Pada saat populasi melimpah, lebih banyak nelayan yang ikut menjaring ikan pora-pora,” papar Nainggolan. “Kami pikir ikan itu tak habis-habis, tapi sekarang begini. Sadarlah warga kini.” “Dalam dua tahun terakhir, ikan mulai punah,” papar Saragih. “Sekarang ikan lainnya tak ada harganya.”

Aku memahami cerita mereka. Kini ketiganya harus bertahan hidup. Nainggolan kini menjadi petani penggarap kopi dan Tampubolon masih bertahan semampunya, dengan satu karyawan. Saragih pun mengadu untungnya. Tapi masalah rupanya tak hanya menimpa para nelayan.

Polusi Air

Dalam sejarahnya, penangkapan ikan dengan keramba di kawasan Danau Toba berkembang  sejak 1990, telah mengakibatkan polusi air pada danau tersebut. Analisis International Lake Environment Committee (ILEC) yang berbasis di Jepang pada 2004 menyatakan sejumlah penyebab polusi tersebut adalah pakan ikan atau pelet, baik yang dilakukan oleh nelayan maupun perusahaan budidaya ikan tertentu.

Pada 2004, diperkirakan sekitar 150.000 keramba apung berada di Danau Toba, dan terbesar dimiliki oleh perusahaan budidaya.

Sejak 1998, satu perusahaan budidaya skala besar asal Swiss yang  beroperasi di Ajibata adalah PT Aquafarm Nusantara. Bisnisnya adalah membudidayakan ikan nila premium untuk komoditas ekspor.

Analisis ILEC memaparkan walaupun kegiatan akuakultur secara umum mendatangkan keuntungan—macam penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan—namun aktivitas itu pula yang mencemari Danau Toba.

"Sampah dari keramba secara bebas masuk ke lingkungan, berinteraksi dengan keseluruhan isi danau," demikian analisis ILEC. "Kegiatan budidaya itu sangat rentan, baik untuk polusi maupun masalah yang berkaitan dari kualitas air."

Analisis ILEC tentu saja tak hanya soal kegiatan budidaya ikan. Polusi di Danau Toba dan menurunnya kualitas air, demikian organisasi tersebut, juga terjadi akibat sampah rumah tangga, minyak yang digunakan perahu motor wisata, penggunaan air sebagai pembangkit listrik oleh perusahaan pembuatan alumunium - yang kini menjadi perusahaan milik negara - hingga deforestasi perusahaan kertas.

Pada hari itu, aku bersama puluhan aktivis pers mahasiswa,  melewati kantor divisi pembesaran PT Aquafarm di kawasan Justin Sirait, sebelum menemui kedua nelayan dari Ajibata tersebut. Ada truk-truk pengangkut ikan berjejer di dalam halaman kantor. Tabung-tabung gas besar. Kantor ini juga berada di tengah-tengah perumahan warga.

Aku pun memperhatikan kondisi jalan yang bergelombang dan berlubang, yang diduga tak kuat menahan beban arus lalu-lalang truk perusahaan.  Saat ingin kembali ke penginapan, aku bertanya pada supir mikrolet dengan boneka naga dan babi merah muda pada dasbor mobil—tentang truk-truk yang juga berjajar di luar kantor perusahaan. “Itu juga milik PT Aquafarm,” katanya pendek.

Perusahaan ini awalnya beroperasi di Klaten, Jawa Tengah sejak 1988. PT Aquafarm kemudian melebarkan bisnisnya ke Sumatra Utara dengan memilih Danau Toba sebagai kegiatan pembesaran ikan dalam lima lokasi terpisah pada tiga kabupaten yakni Samosir, Simalungun, dan Toba Samosir.

Dalam situs resminya dipaparkan, produk ikan nila berbentuk filet yang bernama Regal Springs Tilapia itu diekspor ke Amerika Serikat dan Eropa dengan komposisi 54% dan 30%, serta sisanya adalah Kanada, Singapura dan Taiwan. Pada 2013, perusahaan menargetkan produksi ikan nilai mencapai 35.000 ton dan meningkat pada tahun ini menjadi 40.000 ton.

Dampak Pencemaran

Soal dugaan pencemaran akibat perusahaan budidaya tersebut, studi yang dilakukan Pohan Panjaitan—akademikus yang mendalami akuakultur dari Universitas HKBP Nommensen—pada 2008 cukup mengejutkan.

Penelitian berjudul Kajian Potensi Pencemaran Keramba Jaring Apung PT Aquafarm Nusantara di Ekosistem Perairan Danau Toba menemukan limbah nitrogen dan fosfor di dalam danau akibat pakan ikan maupun hasil metabolisme.

Dalam penelitiannya, Pohan menuturkan, sedikitnya  terdapat masing-masing 6,89 ton serta 6,91 ton limbah nitrogen dihasilkan setiap hari dari jenis pakan satu dan pakan dua milik PT Aquarfarm. Demikian pula fosfor yang mencapai sekitar 2,38 ton dan 2,15 ton dari masing-masing dua jenis pakan tersebut. Ini dengan pengukuran sebanyak 200 ton pakan ikan disebar perhari dan 5% tak dimakan.

“Waktu tinggal pada air di Danau Toba adalah 77 tahun,” demikian Panjaitan dalam studi tersebut. “Sehingga limbah nitrogen dan fosfor akan keluar dari Danau Toba setelah 77 tahun.”

Secara umum, waktu tinggal atau residence time adalah lamanya waktu bagi satu material untuk berada dalam ekosistem tertentu, macam laut atau danau. Waktunya pun bervariasi. The United Nations Environment Programme dalam grafik tentang sumber daya air menyatakan waktu tinggal untuk danau maupun lautan masing-masing mencapai 10 tahun hingga 4.000 tahun.

Waktu tinggal pada Danau Toba, juga berkaitan dengan jumlah urin dan feses yang dikeluarkan ikan. Penelitian Panjaitan itu menunjukkan limbah yang dihasilkan oleh jenis pakan satu dan dua melalui urin mencapai 5,14 ton dan 5,16 ton. Sedangkan untuk feses, masing-masing limbah nitrogen yang diproduksi mencapai masing-masing 1,75 ton dan 1,76 ton.

Sisa pakan dari hasil metabolisme ikan itu akan diurai oleh mikroba anaerobik dan menghasilkan sel-sel mikroba baru yang memproduksi senyawa macam Co2, NH, CH serta komponen fosfor. Proses itu akan menyebabkan penurunan konsentrasi oksigen terlarut dan menghasilkan senyawa beracun yang menyebabkan kematian fauna lainnya.

Unit pengolahan pakan PT Aquafarm sendiri terletak di Desa Naga Kisar, Kabupaten Serdang Bedagai, yang berdiri sejak 2006. Dalam buletin internal perusahaan pada Oktober 2013 disebutkan, produksi pelet ikan kini mencapai 1.000 ton perbulan dengan 56 karyawan.

Jenis pakan yang diproduksi adalah pelet apung seperti AFSA Crumble, AFSA 1,5 milimeter, AFSA 2 milimeter serta AFGA 3 milimeter dan AFGA 5 milimeter.

Perusahaan juga mengklaim telah melakukan produksi yang bertanggung jawab, sesuai dengan sertifikat dari Aquaculture Stewardship Council (ASC)—lembaga sertifikat yang berbasis di Belanda— pada 2012 dan akan audit penuh akan dilakukan kembali pada 2015.

Perusahaan tersebut memiliki 553 unit keramba untuk pembesaran ikan dan menggunakan area seluas 9,1 hektare dari Danau Toba. Dalam buletin internalnya, perusahaan menyatakan pelet yang digunakan adalah pelet apung berbahan dasar alami dengan kandungan fosfor rendah. PT Aquafarm juga menuturkan pengawasan berkala dilakukan untuk memastikan pembiakan ikan yang cepat dengan residu minim.

Analisis dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan produksi ikan total melalui keramba jaring apung pada 2010 mencapai 47.478 ton per tahun, dengan perincian 45.437 ton ikan nila dan 2.041 ton ikan mas pada tujuh kabupaten yang mengelilingi Danau Toba. Tiga kabupaten terbesar yang menghasilkan ikan nila adalah Samosir (24.110 ton), Toba Samosir (9.894 ton) dan Simalungun (9.017 ton).

 “Tidak benar jika operasi PT Aquafarm tidak berdampak pada lingkungan,” kata Panjaitan kepada aku, Oktober lalu. “Yang dipikirkan hanyalah masa kini, tapi 100 tahun mendatang tidak.”“Apa yang harus dilakukan?”

“Pemerintah harus kontrol dan membuat zonasi yang diawasi, termasuk keramba masyarakat,” jawab Panjaitan. “Feses ikan tak bisa dikendalikan, tapi bisa dilakukan melalui pakan.” (bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Anugerah Perkasa
Editor : Yusran Yunus

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper