Tiga Prioritas
Sepanjang malam, di wisma PT Arun Lhokseumawe, saya tidak bisa tidur. Saya gunakan waktu yang amat berharga itu untuk menyusun dan menentukan prioritas dan tindakan penting yang harus segera dilakukan. Setelah saya lakukan analisis secara mendalam, saya tetapkan 3 prioritas utama. Tiga-tiganya harus dilakukan secara terpadu dan bersamaan. Tidak saling menunggu.
Prioritas pertama adalah Operasi Tanggap Darurat, secara internasional sering disebut "Disaster Relief Operations." Yang paling penting adalah menyelamatkan jiwa siapapun yang masih bisa diselamatkan. Kemudian evakuasi dan perawatan para korban luka atau sakit. Juga pemberian makanan, minuman, obat-obatan dan air bersih. Juga menghidupkan kembali listrik dan ketersediaan BBM. Juga menormalisasi transportasi dan telekomunikasi.
Pendek kata, dari situasi yang serba darurat secara bertahap harus dipulihkan menjadi normal kembali. Melihat luasnya daerah yang rusak berat serta besarnya kehancuran infrastruktur dan sumber-sumber kehidupan, waktu operasi tanggap darurat ini saya tetapkan 3 bulan. Setelah itu akan berlanjut dengan tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi.
Prioritas kedua adalah pengerahan dan penugasan satuan TNI dan Polri dalam jumlah yang cukup dan dalam waktu yang singkat. Operasi tanggap darurat yang amat besar skalanya tidak mungkin dilaksanakan tanpa pelibatan satuan TNI, Polri dan elemen-elemen lain seperti PMI, satgas PLN, satgas Telkom dan lain-lain. Saya mengetahui bahwa salah satu tugas TNI adalah melaksanakan Operasi Militer Selain Perang, dan salah satu wujudnya adalah operasi tanggap darurat menanggulangi bencana.
Sedangkan prioritas yang ketiga adalah memastikan agar kontak tembak antara TNI dan GAM bisa ditiadakan. Ingat Aceh masih ditetapkan sebagai daerah operasi militer, karena unsur-unsur bersenjata GAM waktu itu juga masih aktif melakukan aksi-aksi bersenjatanya. Sementara itu tidaklah mungkin operasi tanggap darurat bisa dilaksanakan secara berhasil jika pertempuran antara TNI dan GAM masih terjadi.
Dalam kaitan ini saya berencana bahwa sesampainya di Banda Aceh keesokan harinya, saya akan ajak dan serukan agar GAM bisa ikut membantu saudara-saudaranya yang tengah mengalami musibah luar biasa. Saya juga akan serukan kembali untuk dapat mengakhiri konflik secara damai.
Sebenarnya, sebulan sebelumnya, bulan November 2004 ~ satu bulan setelah saya dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia, saya telah mengajak GAM untuk kembali mencari jalan bagi pengakhiran konflik bersenjata yang telah berlangsung lebih dari 30 tahun.
Dan sejarah juga mencatat bahwa sebenarnya solusi damai hampir terjadi setelah adanya Perjanjian Jenewa akhir tahun 2002. Sayang upaya damai itu kandas karena kurang bulatnya pihak pemerintah untuk mengimplementasikan solusi damai itu, sementara pihak GAM-pun juga tidak konsekuen melaksanakannya.
Oleh karena itu pada saat kampanye Pemilihan Presiden tahun 2004, saya bersama Pak Jusuf Kalla berjanji bahwa jika kami berdua mendapatkan amanah untuk memimpin Indonesia, kami bertekad untuk menyelesaikan konflik Aceh secara damai. Dengan terjadinya bencana tsunami ini, saya punya keyakinan bahwa Allah memberikan jalan bagi berakhirnya konflik yang telah banyak merenggut korban jiwa itu. "New window of opportunity is widely open."
Keadaan Banda Aceh Lebih Memilukan
Esok harinya, 28 Desember 2004, saya sudah mendarat di Banda Aceh. Keadaan lebih menyedihkan lagi. Sepertinya semuanya rata dengan tanah. Kecuali sejumlah masjid, termasuk masjid Baiturrahman.
Saya segera berkeliling Banda Aceh. Rombongan sempat berhenti ketika di hadapan kami ada ratusan jenazah. Saya mengajak untuk berdoa kepada Allah, agar para syuhada itu diterima disisi-Nya. Menteri Agama Maftuh Basyuni memimpin acara doa itu.
Banda Aceh lengang. Saya temui para korban yang sakit dan luka-luka di Rumah Sakit sementara. Di Bandara sendiri Ibu Ani memeluki banyak sekali anak-anak yang kehilangan orang tuanya. Tangis ada di mana-mana. Meskipun secara lahiriah saya nampak tegar dan terus memberikan instruksi kepada para Menteri dan Pejabat Daerah, tetapi sesungguhnya hati saya pun menangis. Ujian dan cobaan Allah ini sungguh berat.
Setelah cukup berkeliling dan meninjau langsung daerah-daerah yang paling terdampak, termasuk keadaan masyarakat dan infrastruktur yang rusak berat, saya segera menuju ke Posko Sementara yang bertempat di Pendopo Gubernuran. Di situ, meskipun informasi yang yang miliki relatif cukup, tetapi saya persilahkan pejabat yang ada di Posko untuk menyampaikan laporan dan penjelasannya.
Sejumlah tokoh masyarakat yang turut hadir juga saya persilahkan untuk bicara. Memang semuanya amat emosional. Bingung, sedih dan seperti tidak tahu apa yang harus dikerjakan.
Dalam situasi seperti itulah ~ sebagaimana yang telah saya perkirakan ketika saya berada di Lhokseumawe ~ saya harus memberikan instruksi dan arahan secara teknis. Sama sekali saya tidak berbicara yang sifatnya nasional dan strategis. Betul-betul operasional dan teknis. Persis seperti seorang Bupati, atau Dandim, ataupun Kapolres memberikan pengarahan kepada komandan-komandan bawahannya.
Pertimbangan saya, kehidupan lokal yang lumpuh harus digerakkan dulu. Kepercayaan mereka harus mulai dibangkitkan. Mereka harus tahu ada Presiden, Menteri dan pejabat lain yang datang untuk mengatasi masalah dan membantu mereka semua. Medan yang saya masuki adalah medan psikologis dan kondisi mental yang mengalami goncangan. Itu yang paling diperlukan.
Di Lhokseumawe saya berjanji bahwa setelah meninjau Banda Aceh akan segera saya tetapkan status bencana gempa bumi dan tsunami yang melanda Aceh dan Nias itu. Di situlah secara lisan saya sampaikan status bencana yang terjadi itu berupa Bencana Nasional. Dengan demikian siapa berbuat apa dan siapa bertanggung jawab tentang apa menjadi jelas. Juga menyangkut penggunaan dan penyaluran anggaran negara.
Satu lagi, yang juga telah ada dalam pikiran saya, di Banda Aceh lah saya ulangi seruan saya agar Pemerintah dan GAM dapat duduk bersama untuk mencari jalan bagi pengakhiran konflik. Atas pertolongan Allah, nampaknya jalan itu terbuka cukup lebar. Sejarah mencatat bahwa hanya dalam waktu 8 bulan akhirnya konflik Aceh bisa kita selesaikan secara damai dan bermartabat.(bersambung)