Terbang Menuju Lhokseumawe
Pagi hari, pesawat yang saya tumpangi tinggal landas menuju Aceh. Sasaran kunjungan saya adalah ke Lhokseumawe. Sementara, Pak Jusuf Kalla saya minta untuk langsung ke Banda Aceh. Pertimbangan saya Wapres bisa datang lebih cepat di Aceh, sehingga segera bisa melihat langsung Banda Aceh yang konon kerusakannya paling parah. Sebab, kalau saya sendiri yang ke Banda Aceh, sore atau malam hari baru tiba.
Sebagaimana yang diketahui oleh banyak kalangan pesawat kepresidenan yang saya naiki adalah jenis RJ 85, yang tidak bisa terbang langsung ke Lhokseumawe. Pesawat harus singgah di Makasar dan kemudian Batam untuk pengisian bahan bakar. Tentu saja saya harus menambah waktu sekitar 3-4 jam.
Keadaan inilah yang waktu itu memunculkan gagasan saya bahwa seharusnya pesawat Presiden Indonesia bisa terbang ke manapun di wilayah Indonesia, maksimal 8 jam, tanpa harus melakukan "refueling."
Tetapi, pesawat yang saya maksud baru terwujud 10 tahun kemudian. Pertama saya sadar bahwa saya harus menunggu kemampuan ekonomi negara dan ketersediaan anggaran pemerintah. Sedangkan yang kedua proses politiknya ternyata panjang dan tidak mudah. Ada pro dan kontra. Dianggapnya sebuah pemborosan. Padahal jika Presiden selalu menggunakan pesawat Garuda biayanya justru jauh lebih mahal, dan juga bisa mengacaukan jadwal penerbangan Garuda sendiri.
Namun, bagaimanapun saya bersyukur karena pesawat itu dapat disediakan sekitar 5 bulan sebelum saya mengakhiri tugas saya sebagai Presiden. Saya senang karena Presiden Jokowi dan Presiden-Presiden berikutnya bisa terbang ke manapun tanpa harus berhenti di jalan karena mesti mengisi bahan bakar.
Ketika saya singgah di Makasar dan Batam, saya tidak menyia-nyiakan waktu untuk mencoba berkomunikasi dengan Aceh. Tetapi tetap sulit. Oleh karena itu saya terus bekerja dengan asumsi berdasarkan intelijen yang minim. Selama penerbangan pun saya menggelar peta dan bersama para menteri terkait mulai saya pelajari situasi serta rencana tindakan yang diperlukan.
Sementara itu, Ibu Ani nampak makin sedih. Ia mulai membayangkan tragedi kemanusiaan itu. Terbayang pula kesedihan yang tiada tara yang dialami oleh saudara-saudaranya yang ada di Aceh, yang kehilangan mereka-mereka yang disayanginya karena menjadi korban bencana tsunami tersebut.
Kehancuran Total dan Duka yang Mendalam
Sore hari pesawat yang saya tumpangi mendarat di Bandara Lhokseumawe. Begitu sampai di lokasi saya beserta istri dan rombongan segera menemui ribuan saudara-saudara kita yang kena musibah, termasuk yang kehilangan keluarganya. Suasana sungguh memilukan. Kami sapa dan peluk mereka. Saya sampaikan bahwa saya dan para Menteri datang untuk membantu mereka semua.
Menjelang gelap, saya dan rombongan sampai di tempat penginapan ~ di kompleks PT Arun ~ saya segera menggelar rapat. Tentunya semuanya serba darurat. Saya ingin segera mendapatkan laporan dari para pejabat daerah tentang keadaan yang nyata di lapangan, serta tindakan apa saja yang telah dilakukan oleh daerah termasuk oleh jajaran TNI dan Polri.
Dengan laporan yang lebih akurat, saya akan lebih fokus untuk meninjau daerah-daerah yang paling parah kerusakannya. Juga yang paling banyak korban jiwanya. Dari situ, kemudian saya bisa mengambil keputusan, termasuk sasaran-sasaran utama operasi tanggap darurat yang mesti segera dilakukan.
Tiga pimpinan daerah memberikan laporan singkat kepada saya, yaitu Pelaksana Tugas Gubernur Aceh Azwar Abubakar, Pangdam Iskandar Muda Mayor Jenderal TNI Endang Suwarya dan Kapolda Aceh Inspektur Jenderal Bachrumsyah. Roman muka ketiga pejabat tersebut nampak tegang dan juga lelah.
Saya diberitahu bahwa isteri Mayjen Endang Suwarya hampir tidak selamat akibat hantaman gelombang tsunami yang sangat kuat, sementara salah satu anak Gubernur Azwar Abubakar belum diketahui posisinya. Suara mereka nampak bergetar ketika memberikan laporannya.
Saya menyimak dengan seksama semua laporan dan penjelasan yang diberikan kepada saya. Setelah saya ajukan sejumlah pertanyaan penting, akhirnya saya bisa menyimpulkan dan sekaligus menyampaikan pernyataan sebagai berikut:
"Ini sebuah bencana nasional. Hakikatnya juga krisis nasional. Oleh karena itu yang harus kita jalankan adalah manajemen krisis. Baik pada tingkat Pusat, maupun Daerah." Semuanya membenarkan. Kemudian saya sampaikan arahan saya lebih lanjut.
"Karena jajaran Pemerintah Daerah saya anggap lumpuh total, maka Pemerintah Pusat akan mengambil alih. Setelah saya tinjau di lapangan esok pagi, saya akan putuskan status bencana ini. Tetapi sementara saya bisa mengatakan bahwa sangat mungkin statusnya adalah bencana nasional."
Seusai rapat, dihadapan staf khusus dan ADC Presiden, saya sampaikan bahwa saya harus turun langsung ke lapangan. "Hands on." Tak cukup hanya menerima laporan semata. Begitu prinsip kepemimpinan yang saya anut dan jalankan selama ini.
Namun, saya juga sampaikan bahwa sebagai Kepala Pemerintahan tugas dan kewajiban saya bukan hanya meninjau dan menangani permasalahan yang ada di lapangan semata, tetapi saya juga bertanggung jawab bahwa pemerintah memiliki kebijakan dan tindakan nasional yang tepat. Termasuk sumber daya yang perlu kita kerahkan. Tentu termasuk pula dukungan anggaran yang diperlukan. Dalam pikiran saya yang harus pemerintah lakukan adalah manajemen krisis tingkat strategis dan berdimensi nasional.(bersambung)