Bisnis.com, PEKANBARU-- Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Provinsi Riau menyatakan sebaiknya pemerintah duduk kembali bersama para pemangku kepentingan untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 71 /2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
"Kami dari kamar dagang mengharapkan kepada pemerintah untuk berinisiatif mengajak duduk kembali dunia usaha di sektor sumber daya alam, khususnya budidaya perkebunan dan kehutanan," ujar Direktur Eksekutif Kadin Riau Kholis Romli seperti dikutip Antara, (21/11).
Pengusaha, katanya, dibutuhkan oleh negara ini untuk memacu pertumbuhan pembangunan. Pemerintah sebagai regulator dan sekaligus sebagai fasilitator, supaya pembangunan yang dilakukan bisa berkelanjutan yang harus sedikit menguntungkan bagi dunia usaha.
Produk hukum yang merupakan turunan dari Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dinilai Kadin Riau telah memberi ancaman serius bagi kedua bisnis utama nonmigas yakni minyak sawit mentah dan industri hijau Terutama soal ketentuan muka air gambut yang ditetapkan minimal 0,4 meter dalam PP Gambut.
Jika lebih dari itu, lanjut dia, maka suatu kawasan gambut akan dinyatakan rusak karena menimbulkan konsekuensi tidak bisa dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya.
"Ini merupakan sesuatu yang harus bisa dicari jalan keluar. Jangan suatu regulasi dipaksakan, tanpa melihat atau mendengar cara pandang dari pemangku kepentingan lain. Harus ada forum secara terus menerus menyamakan persepsi antara pemerintah, pengusaha dan LSM lingkungan," ujarnya.
Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan akan mencari jalan tengah agar usaha perkebunan dan kehutanan yang saat ini beroperasi di lahan gambut tidak terhenti setelah terbitnya Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Sekjen Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto mengatakan beleid tersebut telah membuat kekhawatiran di kalangan usaha bahwa usaha mereka harus berakhir guna menepati aturan baru itu.
“Untuk itu akan dicari jalan tengahnya agar upaya perlindungan bisa ditegakan dan usaha di lahan gambut yang sudah ada pun tetap bisa berjalan,” katanya, Kamis (13/11/2014).
Hadi menjelaskan kekhawatiran usaha perkebunan dan kehutanan terkait PP No.71 tahun 2014 ialah mengenai ketentuan batas bawah muka air gambut yang ditetapkan yaitu 0,4 meter.
“0,4 meter itu kan hanya dua jengkal saja. Sementara akar pohon butuh ruang lebih karena bisa tumbuh sangat panjang,” kata Hadi.
Menurut Hadi, pengelolan gambut yang sebenarnya dibutuhkan adalah soal pengaturan tata airnya. Hal itu memastikan saat musim penghujan tidak terjadi kebanjiran, dan saat kemarau tidak kekeringan yang berpotensi menimbulkan kebakaran.
Sementara itu, Sekjen Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) Suwardi mengatakan perlindungan lahan gambut memang diperlukan. Namun, dia mengatakan pemerintah juga perlu mengelola lahan mengingat potensi ekonominya yang besar.
Mengenai kebakaran di lahan gambut, Suwardi menyatakan hal itu terkait dengan masalah sosial, bukan soal teknis pengelolaan lahannya.