Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sanksi Denda Bagi Pembakar Hutan Riau Lebih Efektif

Pemerintah disarankan untuk menerapkan sanksi denda dalam kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Riau atau sanksi dalam bentuk valuasi ekonomi lainnya yang terukur dan dapat dipertanggungjawabkan.
KEBAKARAN HUTAN RIAU, KABUT ASAP, RIAU
KEBAKARAN HUTAN RIAU, KABUT ASAP, RIAU

Bisnis.com, PEKANBARU-Pemerintah disarankan untuk menerapkan sanksi denda dalam kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Riau atau sanksi dalam bentuk valuasi ekonomi lainnya yang terukur dan dapat dipertanggungjawabkan.

Daud Silalahi , pakar hukum lingkungan, mengemukakan, denda keuangan tersebut bisa digunakan untuk biaya pemulihan lingkungan yang rusak karena kebakaran hutan di Riau. Adapun untuk pelaku-pelaku yang terbukti secara sengaja membakar hutan, sanksi denda tersebut harus juga ditambah dengan sanksi pidana. 

"Sanksi denda tersebut lebih memberikan efek jera karena biaya yang dikeluarkan korporasi untuk merehabilitasi lingkungan tentunya tidak kecil," katanya dalam keterangan resmi yang diterima bisnis.com, (6/7).

Daud mengutarakan pemilik lahan yang kawasannya terbakar dapat dimintakan pertanggungjawaban dengan cara memulihkan secepat mungkin lahan yang terbakar. Pemulihan ini berarti ada beban keuangan yang harus dikeluarkan oleh pemilik lahan, agar lahan yang rusak dapat segera pulih kembali. 

Dia menilai kebijakan tersebut lebih efektif dan strategis karena mengandung unsur pencegahan, penanggulangan pencemaran serta pemulihan fungsi lingkungan. 

Hingga saat ini, wilayah Riau selalu diselimuti kabut asap akibat kebkaran hutan dan lahan, setiap tahun, terutama memasuki musim kemarau. Berbagai upaya sudah dilakukan termasuk menangkap oknum dan pelaku pembakar hutan oleh Polda Riau. 

Dau menilai penanganan kasus karhutla, sanksi pidana belum efektif membuat efek jera serta tidak menyelesaikan pemulihan atas pencemaran lingkungan yang terjadi. Sanksi pidana sebaiknya diberlakukan jika korporasi tertangkap tangan membakar atau lingkungan yang dirusak tidak dapat dipulihkan lagi. 

Daud menuturkan dari beberapa pengalamannya sebagai saksi ahli, penyelesaian pidana kasus karhutla di pengadilan selalu memakan waktu panjang dan sering tidak tuntas. 

 "Kalaupun ada putusan, hasil tidak memenuhi rasa keadilan karena lebih banyak ditentukan oleh kepiawaian para pengacara yang belum tentu memahami persoalan lingkungan," kata dia. 

Sebenarnya, kata Daud, aturan hukum yang ada terkait lingkungan cukup baik. Hanya saja, pemerintah perlu menambahkan sejumlah kebijakan yang lebih terukur dan akuntabel untuk meminimalisir dampak kerusakan lingkungan. 

Staf Khusus Menteri Lingkungan Hidup Ryad Chairil menilai, proses hukum dalam kasus kebakaran hutan perlu menerapkan asas strict liability (SL) atau kewajiban untuk segera merehabilitasi kerusakan lingkungannya.

"Prosesnya relatif lebih efisien, cepat dan terukur, dibandingkan dengan proses pidana yang membutuhkan penetapan pengadilan yang panjang serta tidak menjamin pengurangan beban pencemaran lingkungan," kata Ryad. 

Selama ini proses penyelesaian kasus pidana pencemaran lingkungan memerlukan waktu setidaknya 5 tahun. Faktanya, banyak kasus pidana lingkungan yang tidak dapat segera dituntaskan karena belum bisa memenuhi aspek pemberkasan di Kejaksaan (P19). Pemerintah pun seringkali kalah dalam proses pengadilan. 

Dalam kurun waktu proses pidananya, perusahaan harus berhenti operasi dan wilayah operasi nya di-policeline-kan. Akibatnya, perusahaan dapat mengalami kebangkrutan karena tuntutan pemailitan dari para krediturnya, meskipun secara hukum perusahan tersebut belum terbukti bersalah sebagai perusak lingkungan.

Daerah yang tercemar tidak dapat segera dipulihkan, karena harus menunggu penyelesaian proses pidananya. Resiko terjadi PHK besar-besaran akan meningkat dan menimbulkan gejolak dari sisi perekonomian. Hal inilah yang menyebabkan sanksi pidana kurang sejalan dengan program pembangunan berkelanjutan global (global sustainable development program), yang meminta proses penegakan hukum lingkungan untuk turut membantu pertumbuhan ekonomi nasional tiap negara dan mengentaskan kemiskinan global.

Ryad memandang, asas SL sudah sesuai dengan semangat UU lingkungan untuk mengurangi beban pencemaran lingkungan dan bukan semata sebagai alat untuk mempidanakan orang.

Asas SL ini juga sejalan dengan kaedah hukum internasional. Apalagi Indonesia telah meratifikasi Agreement on Transboundary Haze Pollution. "Indonesia dapat menerapkan konsep SL melalui kerjasama ASEAN dalam penanggulangan pencemaran dan perusakan lingkungan," lanjut Ryad

 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper