Bisnis.com, JAKARTA - Umat Islam di Indonesia seringkali bingung memulai puasa Ramadan lantaran adanya perbedaan metode penetapan awal puasa Ramadan.
Seperti yang terjadi saat ini, umat Islam masih bertanya-tanya kapan tepatnya memulai puasa Ramadan, Sabtu (28/6/2014) atau Ahad (29/6/2014).
Kementerian Agama sore ini (27/6/2014) menggelar sidang penetapan (isbat) awal Ramadan, yang akan dihadiri wakil-wakil dari organisasi kemasyarakatan Islam, ulama dan sejumlah utusan negara-negara Islam.
Dalam penetapan awal Ramadan, ada 2 metode yang umumnya digunakan yakni hisab dan rukyat. Metode hisab menggunakan perhitungan astronomi untuk penentuan hilal atau terbitnya bulan sabit di ufuk barat sebagai tanda dimulai bulan baru.
Sementara metode rukyat menetapkan awal bulan baru dengan menggunakan penglihatan langsung, baik dengan mata telanjang maupun alat bantu (teleskop).
Tidak bisa dipungkiri, kedua metode itu seringkali melahirkan keputusan perihal awal Ramadan yang berbeda.
Berdasarkan perhitungan astronomi, bulan sabit telah terbit. Namun karena rukyat tidak berhasil melihat terbitnya bulan sabit yang berlangsung hanya beberapa menit itu akibat sejumlah kendala a.l. terhalang mendung, hujan atau kabut tebal, maka awal puasa pun ditetapkan sehari kemudian.
Dalam perkembangannya, Agus Mustofa, memotori pemanfaatan astrofotografi, metode yang diharapkan bisa menjembati adanya perbedaan metode hisab dan rukyat tersebut.
Dia pun mengajakThierry Legault, salah satu ahli astrofotografi terbaik di dunia asal Prancis, menemui Pengurus Pusat Muhammadiyah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Kedua organisasi kemasyarakatan terbesar di Tanah Air itu pun mengamini penggunaan metode astrofotografi tersebut.
Astrofotografi merupakan sebuah metode baru yang bisa digunakan untuk menetapkan awal bulan dalam tarikh Hijriyah. Metode ini bisa merekam pergerakan bulan tidak hanya pada saat terjadinya konjungsi bersamaan dengan waktu tenggelamnya matahari, tetapi sudah bisa ‘’melihat’’ posisi bulan sejak pagi hari.
Pergerakan inilah yang direkam menggunakan teknik fotografi dan videografi. Hasilnya dianalisa secara matematis dan astronomis, sehingga bisa menetapkan kapan saat terjadinya ‘’peralihan’’ dari bulan akhir ke bulan baru tanpa terpengaruh hujan, mendung atau kabut.
Istilah astrofotografi berasal dari kata ‘’astronomi’’ dan ‘’fotografi’’. Secara mudah, astrofotografi adalah penggunaan teknik perekaman objek-objek astronomi seperti bulan, bintang, nebula dan galaksi. Dengan kemajuan teknologi, astrofotografi bisa menghasilkan rekaman berupa foto dan video.
Sejak Kamis (26/6/2014) sebanyak enam tim astrofotografi telah diberangkatkan ke pos pemantau hilal di 6 wilayah. Keenam tim dijadwalkan melakukan rukyat pada hari Jumat (27/6) mulai pukul 13.09 waktu setempat atau setelah salat Jumat hingga matahari terbenam sekitar pukul 18.00 waktu setempat. Keenam tim merupakan gabungan dari berbagai elemen, antara lain PB Nahdlatul Ulama, PP Muhammadiyah, perguruan tinggi negeri dan swasta, astronom, peneliti serta praktisi.
LIVE STREAMING RUKYAT
Terkait dengan strategisnya pelaksanaan astrofotografi untuk menyatukan hisab dan rukyat, PT Jagat Pariwara Media Citra (Jagat Productions) sebagai penyedia jasa produksi video live streaming di Jakarta berinisiatif menyelenggarakan produksi siaran langsung.
Jagat menggandeng 2Q Creative sebagai penyedia sistem, PT Prakarsa Persada sebagai penyedia server, PT Remala Abadi sebagai penyedia bandwidth serta Balai Penyedia dan Pengelola Pembiayaan Telekomunikasi dan Informatika (BP3TI) yang membangun infrastruktur telekomunikasi pedesaan di enam lokasi rukyat.
Dalam ujicoba pada hari Kamis (26/6), live streaming berhasil dilakukan dari Malang, Solo, Semarang dan Banda Aceh dengan kualitas gambar yang cukup baik. Namun live streaming dari Gunung Kidul, Surabaya dan Cilacap belum berhasil karena kendala teknis cuaca dan tidak cukupnya bandwidth di lokasi pemantauan hilal.
Menjelang pelaksanaan rukyat hari Jumat (27/6) ini, live streaming ditargetkan bisa terselenggara dari titik pantau Surabaya dan Cilacap.
‘’Apabila cuaca cerah, citra yang terekam dari perangkat astrofotografi di Semarang, Solo, Cilacap, Surabaya, Malang dan Banda Aceh bisa dikirimkan dengan metode live streaming. Sedangkan live streaming dari Parang Tritis kemungkinan belum bisa karena bandwidth di lokasi tidak mencukupi untuk mengirim data video. Rukyat juga terkendala oleh cuaca,’’ kata Awie Setiawan, Head of Marketing Jagat Productions.
Awie menjelaskan kegiatan live streaming rukyatul hilal ini merupakan sebuah upaya untuk menghadirkan informasi dalam format audio visual secara cepat kepada publik dan pemangku kebijakan.
"Pelaksanaan live streaming ini juga merupakan salah satu cara kreatif memanfaatkan jariingan telekomunikasi data digital yang telah dibangun BP3TI di seluruh pelosok Nusantara," tuturnya.(rilis jagat/berbagai sumber)