Bisnis.com, JAKARTA-- Pemilu legislatif sudah hampir sebulan berlangsung dan semenjak itu setiap hari kita dibombardir aneka berita soal politik hasil pemilu legislatif maupun aneka rupa rencana koalisi antar partai. Belum lagi aneka informasi soal calon presiden yang akan berlaga pada pemilu presiden Juli nanti.
Setiap jenis media berlomba menulis, menyiarkan dan menayangkan aneka berita politik itu. Begitulah media Indonesia. Sesuatu hal yang sedang menjadi topik hangat maka diulas dengan berbagai gaya, yang tidak jarang membuat eneg pemirsa maupun pembaca.
Beruntungnya, dua pekan lalu saya sempat beberapa hari lepas dari 'serbuan' berita perpolitikan Indonesia. Kala itu saya ditugaskan berlayar dengan kapal pesiar Diamond Princess dari Jepang menuju Taiwan.
Kala itu, kapal berbobot mati 116.000 ton itu mengangkut sekitar 1.600 penumpang, dan 1.590 diantaranya warga Jepang, yang mayoritas berusia lanjut. Tidak sedikit yang menggunakan tongkat dan berkursi roda. Dalam kapasitas penuh, kapal setinggi gedung 18 tingkat dan panjang hampir 300 m ini bisa membawa 2.660 penumpang.
Hanya ada raut kegembiraan di wajah para penumpang. Mereka benar-benar menikmati hidup di atas kapal pesiardengan segala aneka fasilitas yang membuat orang tidak bosan berlayar berhari-hari di atas kapal.
Saya sempat berkenalan dengan seorang lelaki tua asal Nagoya, Jepang. Takahashi namanya. Dia memperkenalkan diri sebagai pensiunan akuntan sebuah perusahaan telekomunikasi. Sudah empat kali kakek berusia 79 tahun ini plesiran dengan kapal pesiar.
“Menikmati hidup. Saya dulu bekerja keras sepanjang waktu, seringkali 20 jam sehari. Kini saatnya [menikmati],”papar ayah 3 anak yang nampak lebih muda ketimbang usia sebenarnya.
Saya tercenung. Bagaimana bisa setua ini Takahashi-san tetap menikmati hidup dengan nyaman?
"Dulu setiap bulan gaji saya dipotong perusahaan untuk investasi dana pensiun. Belum lagi pajak yang harus dibayar ke pemerintah untuk dana pensiun. Ya inilah hasilnya,"jelasnya.
Memang di Jepang, negara memberikan uang pensiun kepada segenap warga lanjut usia, sekitar 70.000 yen per bulan. Lumayan untuk kehidupan di hari tua. Akibatnya beban keuangan negera pun menggunung, terlebih ketika jumlah penduduk lanjut usia melebihi jumlah penduduk usia produktif. Oleh karena itu, pemerintah Jepang pun menaikkan pajak konsumsi dari 8% menjadi 11% mulai April 2014. Pajak konsumsi ini, pajak yang harus dibayar bila kita membeli barang apa pun jenisnya di negara itu.
Di negara yang sudah maju seperti Jepang itu, menjadi tua memang tidak terlalu mengkhawatirkan. Selain hasil investasi dari dana pensiun pribadi yang diperoleh selama masa kerja, perhatian pemerintah juga baik. Jadi, pantaslah ribuan kakek-nenek Jepang ini bergembira ria menikmati kapal pesiar.
Bagaimana di Indonesia?
Hampir pada saat yang bersamaan, saya membaca artikel menarik yang ditulis Wan Ulfa Zuhra, seorang wartawan muda yang energik. Dia menulis soal perencanaan pensiun masyarakat Indonesia.
Artikel itu menceritakan sebagian hasil survei yang dilakukan HSBC--bank multinasional yang bermarkas di London--sepanjang 2013-2014 bahwa masyarakat Indonesia ingin bekerja hanya sampai usia 55 tahun. Namun masalahnya, secara finansial, banyak responden yang merasa harus bekerja hingga usia 58 tahun.
Hasil survei HSBC itu menyebutkan, ada perbedaan yang cukup jauh antara responden berusia 30 hingga 40 tahun dengan responden berusia lebih dari 50 tahun. Responden berusia 30 sampai 40 tahun merasa harus bekerja hingga usia 56 tahun. Sementara responden yang lebih tua, berusia di atas 50 tahun merasa mereka harus bekerja hingga usia 60 tahun.
Belum Prioritas
Artinya jelas, semakin tua, ekspektasi usia pensiun semakin tinggi. Mereka semakin menyadari bahwa secara finansial, mereka belum siap untuk pensiun.
"Wahh, survei itu saya banget,"batin saya. Bagaimana dengan Anda?
Apa hal itu pula yang membuat pemerintah memperpanjang masa pensiun pegawai negeri sipil dari 56 menjadi 58 dan 60 tahun mulai Januari 2014 ini, karena para pejabat pembuat aturan itu juga belum siap secara finansial bila pensiun pada usia 56 tahun? Wallahualam.
Yang jelas, bagi sebagian besar orang Indonesia masalah perencanaan pensiun bukan prioritas. Fakta ini ditunjukkan oleh riset Allianz Life Insurance yang mewawancarai warga di sejumlah kota besar di seluruh Indonesia.
Hasilnya menunjukkan perencanaan pensiun hanya menempati posisi ke-5 dalam perencanaan yang penting dalam hidup mereka. Masalah jaminan kesehatan dan kematian menjadi yang paling penting, disusul soal perencanaan pendidikan anak.
Padahal soal perencanaan pensiun seharusnya menjadi prioritas kita semua. "Soal pendidikan anak, bisa agak mengalah. Lha kalau pas kuliah, anak kita kan bisa cari beasiswa atau kerja part-time untuk memenuhi kebutuhan pendidikannya,"ujar satu teman saya, Mas Maruta. Ada benarnya juga dia, apalagi jaman sekarang banyak banget tawaran beasiswa.
Satu kenalan lagi, Mas Putut, seorang direktur di sebuah perusahaan investasi multinasional juga berpandangan serupa soal perencanaan pensiun.
"Masa tua kita tidak bisa menggantungkan bantuan anak lagi. Dulu, dengan jumlah anak 5 hingga 10, mereka bisa bergotong royong membantu masa tua bapak ibunya. Sekarang dengan anak hanya 1-2 orang, susah untuk berharap seperti itu. Anak kita juga memiliki beban membiayai kehidupan dan keluarganya sendiri,"jelasnya.
Memang zaman sudah berubah.
Data dari The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menunjukkan, pada 2011 tercatat hanya 11% penduduk Indonesia yang terdaftar sebagai peserta perencanaan dana pensiun. Angka ini tidak termasuk dana pensiun sosial, yang meliputi PNS dan anggota TNI/Polri.
Pertanyaannya, kita ada dimana?Termasuk yang 11% itu, atau di luar kelompok itu?
Apa pun jawabannya, ada baiknya kita ikuti salah satu teman saya, Mas Wahyu, manajer di sebuah perusahaan media. Di tengah kesibukan mengejar target kantor yang semakin menggunung, dia tetap asyik menggarap sawah dan memelihara ternak sapinya.
Bisa jadi dia siap menikmati masa tua seperti Takahashi-san, berplesiran ke berbagai tempat menikmati hidup. Bukannya malah sibuk terjun ke partai politik, berebut kursi anggota dewan saat usia pensiun tiba.