Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Referendum Crimea: Muslim Tatar Boikot Referendum

Di Bakhchysaray, pusat kaum Muslim Tatar di Crimea, referendum yang diselenggarakan pada Minggu, hanya diikuti oleh warga berbahasa Rusia, sementara kaum Tatar memilih melakukan aksi boikot.
Dua wanita sedang memegang tulisan Crimea bersama Rusia tampak bersama warga yang menantikan pengumuman hasil referendum di Lapangan Lenin, di ibu kota Crimea, Simferopol (16/3/2014)./Reuters-Thomas Peter
Dua wanita sedang memegang tulisan Crimea bersama Rusia tampak bersama warga yang menantikan pengumuman hasil referendum di Lapangan Lenin, di ibu kota Crimea, Simferopol (16/3/2014)./Reuters-Thomas Peter

Bisnis.com, BAKHCHYSARAY, UKRAINA -- Gegap gempita kemenangan kelompok pro-Rusia tak berarti seluruh orang mengikuti referendum yang digelar Minggu (16/3/2014) waktu setempat.

Di Bakhchysaray, pusat kaum Muslim Tatar di Crimea, referendum yang diselenggarakan pada Minggu, hanya diikuti oleh warga berbahasa Rusia, sementara kaum Tatar memilih melakukan aksi boikot.

Sementara itu, Elvira seorang warga Crimea menyelipkan kertas suara - dengan pilihan Crimea bergabung dengan Rusia - ke dalam sebuah kotak tranparan.

Ia memasukkan kembali paspor Ukraina-nya ke dalam tas, dengan keyakinan bahwa ia telah menggunakan paspor tersebut untuk terakhir kalinya.

Elvira datang lebih awal ke tempat pemungutan suara bersama anak-anaknya dan berharap hasil referendum tersebut akan membuat hidup mereka menjadi lebih baik.

"Kedua anak saya akan besar di Rusia dan itu hal yang bagus," kata Elvira sambil mengusap kepala putra dan putrinya.

"Mereka akan mendapatkan lebih banyak kesempatan, masa depan lebih baik. Rusia adalah negara kaya dan kuat. Ini adalah untuk terakhir kalinya saya menggunakan paspor Ukraina. Setidaknya itulah harapan saya," katanya.

Situasi berbeda terjadi dengan sebagian besar kaum Muslim Tatar yang berdomisili di kota berpenduduk 25.000 jiwa itu.

Mereka memilih untuk tidak keluar rumah saat referendum yang berlangsung dalam cuaca dingin dan diguyur hujan.

Pengalaman pahit saat diusir Stalin pada 1944 tampaknya masih segar dalam ingatan mereka.

Karena itulah, sejak awal kaum Tatar terang-terangan menentang rencana Crimea bergabung dengan Rusia dan mengimbau agar referendum diboikot karena dianggap illegal oleh pemerintah Ukraina.

"Tentu saja kami tidak mau memberikan suara. Saya tidak akan pergi dan saya kira semua warga Tatar di Crimea juga tidak mau ikut referendum," kata Dilyara Seitvelieva yang mewakili komunitas tersebut di Bakhchysaray.

"Saya tidak butuh referendum. Saya tidak akan pergi untuk memberikan suara. Kehidupan saya di sini sudah baik," kata Seitvelieva yang saat ditemui akan menjalankan shalat di Mesjid Mahmud Sami.

Di Bakhchysaray maupun di wilayah lain di semenanjung Laut Hitam itu, Tatar secara lantang menyampaikan ketidaksetujuan mereka mengenai referendum.

Mereka terlihat aktif di jalan sambil mengibarkan bendera Ukraina berwarna biru dan kuning dan menyerukan aksi boikot.

Pemimpin Tatar di Crimea, Refat Chubarov mengecam referendum dan mengatakan kepada stasiun televisi Inter: "Kami, orang Tatar Krimea, tidak akan pernah ambil bagian dalam pertunjukan badut sirkus ini."

Tapi di tempat pemungutan suara (TPS) yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari mesjid, warga yang berbahasa Rusia berbondong-bondong memberikan suara.

Mereka yang namanya tidak tercantum dalam daftar pemilih, bisa meminta kepada petugas pemilihan yang kemudian mengecek paspor Ukraina dan alamat.

Hanya berselang satu jam setelah TPS dibuka, daftar tersebut sudah berisi 40 nama.

Kerahasiaan pemilih tampaknya tidak menjadi prioritas karena suara tersebut diberikan tanpa amplop, hanya kertas yang dilipat dan semua orang bisa melihat dengan jelas apa yang dipilih.

Di antara belasan pemilih, tidak ada satu pun dari mereka yang menentang bergabungnya Crimea dengan Rusia.

"Ini adalah hal yang bagus," kata Svitlana Nikitina, 37, yang lahir di Bakhchysaray, tapi bekerja di sebuah perusahaan iklan di Simferopol yang berjarak sekitar 30 kilometer dari kota kelahirannya itu.

"Kiev menyuruh kami membuat kampanye iklan dalam bahasa Ukraina, tapi hampir setiap orang di sini berbahasa Rusia," katanya.

"Itu tidak masuk akal. Kami tidak ada hubungannya dengan Uni Eropa. Kami orang Slavia, budaya kami Rusia, tempat kami adalah Rusia," katanya menambahkan.

Anna Ivanovna, nenek berusia 70 tahun, juga memilih bergabung dengan Rusia, tapi ia juga merasa agak prihatin.

"Ya, kami akan menjadi orang Rusia. Itu bagus, tapi pada saat yang sama, dengan usia saya, sulit untuk mengubah negara."

"Saya menyukai kebiasaan dan rutinitas saya. Membuat saya sedikit takut, tapi lihat saja nanti," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Saeno
Editor : Saeno
Sumber : Reuters
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper