Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Asia dan Eropa Topang Kinerja Industri Dunia

Performa industri Eropa dan Asia akan menjadi perhatian utama hingga beberapa bulan ke depan sebagai penentu kinerja ekonomi dunia pada permulaan tahun ini.
/Ilustrasi
/Ilustrasi

Bisnis.com, LONDON—Performa industri Eropa dan Asia akan menjadi perhatian utama hingga beberapa bulan ke depan sebagai penentu kinerja ekonomi dunia pada permulaan tahun ini.

Pasalnya, China masih berupaya menyeimbangkan industri lebih ke sisi belanja konsumen, diperparah dengan perlambatan ekonomi Amerika Serikat akibat cuaca buruk.

Setelah berbagai survei swasta mengindikasikan aktivitas industri jasa mengalami ekspansi di hampir setiap negara di dunia, investor dan otoritas pemerintah akan menggeser fokus ke produksi industri untuk Zona Euro, Inggris, Jepang, dan China.

Pertumbuhan output China kemungkinan melambat pada Januari tahun ini dibandingkan dengan kinerja bulan sebelumnya yaitu 9,7%. Perlambatan tersebut dipengaruhi oleh turunnya permintaan domestik dan mancanegara.  

Ekonom yang disurvei Reuters memprediksi output industri merosot menjadi 9,5% yang dikategorikan masih kuat dan belum menunjukkan upaya penyeimbangan seperti komitmen pemerintah China. Rencananya, China akan mengumumkan data output produksi pada Kamis.

“Ekspor China akan sedikit melunak pada Februari setelah menguat di Januari akibat menumpuknya ekspor sebelum liburan Hari Raya Imlek,” kata David Mann, ekonom Standard Chartered, Minggu (9/3/2014).

Sebelumnya, China menargetkan pertumbuhan ekonomi mencapai 7,5% tahun ini, lebih rendah dari ekspansi ekonomi tahun lalu yaitu 7,7%. China juga berkomitmen untuk mengubah ekonomi negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut lebih matang serta dengan kualiatas yang bagus.

Untuk kawasan Zona Euro sendiri, ekonomi Jerman yang menjadi penopang atas pemulihan ekonomi kawasan tersebut sempat terjungkal. Meski laju pemulihan cukup lambat, beberapa negara di Zona Euro berhasil mengerek naik ekonomi di area yang beranggotan 18 negara itu.

“Tahun lalu, ekspor Jerman merosot akibat turunnya permintaan dari negara berkembang,” ucap James Knightley, ekonom senior ING.

Menurutnya, volatilitas ekonomi di negara berkembang dan cuaca buruk di Amerika Serikat mengakibatkan ekspor Jerman melambat lebih lama dari yang diperkirakan.

“Bisa saja komposisi ekspor Jerman dirubah dari Asia ke Amerika Serikat atau negara Eropa lainnya.  Tetapi, jika angka pengangguran di kawasan itu masih tetap tinggi, peluangnya cukup kecil untuk meningkatkan konsumsi domestik,”tambahnya.

Poling Reuters memproyeksikan produksi industri di Zona Euro menunjukkan kinerja cukup positif pada Januari dibandingkan dengan Desember tahun lalu yang menurun 0,7%.

Market merilis indeks manufaktur (Purchasing Managers' Index/PMI) Zona Euro yang meningkat ke level tertinggi selama lebih dari 2,5 tahun pada Februari. Hal tersebut juga memicu European Central Bank (ECB) mempertahankan suku bunga acuan di level terendah.

Sementara itu, Amerika Serikat mencatat kenaikan pada angka bekerja yang melampaui estimasi pada Februari di tengah badai salju. Angka bekerja pada Februari meningkat menjadi 175.000, lebih tinggi dibandingkan estimasi yang memprediksi kenaikan hanya 149.000.

Sinyal pemulihan ekonomi Amerika Serikat sekaligus mengindikasikan kepastian terkait arah kebijakan moneter.

The Fed sendiri telah melakukan kebijakan normalisasi moneter melalu pengurangan pembelian obligasi bulanan yang telah dilakukan dari Desember 2013 hingga Januari 2014. Program yang dikenal sebagai tapering tersebut dilakukan dengan mengurangi pembelian obligasi sebesar US$10 miliar per bulan.

Data ekonomi lainnya yaitu penjualan retail akan diumumkan pada Kamis (13/3) mendatang. Sejumlah ekonom memprediksi kenaikan penjualan ritel pada Februari setelah cuaca buruk menghadang laju pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat.

Jika hal tersebut terbukti, maka kemungkinan The Fed akan menghabiskan semua program pengurangan pembelian obligasinya pada akhir tahun ini dan mulai mempertimbangkan untuk menaikkan suku bunga pada 2015.

Bank sentral di Korea Selatan, Indonesia, dan Thailand akan mengadakan pertemuan pada minggu ini. Ekonom-ekonom meyakini otoritas bank sentral dari ketiga negara itu tidak akan mengubah kebijakan moneternya.

Kepercayaan konsumen Thailand sempat terjungkal pada Februari, menembus rekor terendah selama 12 bulan menyusul krisis politik berkepanjangan di Thailand. 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor :
Sumber : Reuters

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper