Bisnis.com, JAKARTA - Sehari menjelang peringatan ke-68 Kemerdekaan RI, Bisnis mendapatkan kesempatan untuk wawancara dengan pemilik kelompok usaha Artha Graha, Tomy Winata di Tambling Wildlife Nature Conservation, Lampung.
Obrolan santai di tengah hutan yang sejuk tersebut menghilangkan kesan angker dan tertutup dari sosok Tomy. Banyak hal yang menarik yang bisa digali dari taipan yang hanya menempuh pendidikan formal tingkat SMP ini. Wawancara juga dilakukan pada kesempatan berbeda. Berikut petikannya :
Peringatan Kemerdekaan ada maknanya bagi Anda?
Eh Pak, setiap 17-an kita ada upacara, kalau nggak di SCBD, ya di [Hotel] Borobudur. Di sini besok juga ada. Namun bagi saya sendiri, itu saatnya merenungkan moral kita. Tujuhbelasan itu penting diupacarakan dan diperingati.
Namun apa artinya kalau memperingati itu hanya di mulut, hanya sebatas berdiri dan nyanyi, tetapi implementasi kita hari-hari secara moral dan kebatinan tidak terpatri dalam?
Nah itulah yang saya kira perlu dibangun jiwa korsa sebagai seorang anak negeri, anak Indonesia. Orang bilang masih Merah Putih dada saya. Namun benar nggak implementasinya? Kok saat Merah Putih dihina, dibakar, putih diturunkan hingga dilecehkan kok tidak terbangun emosi sebagai anak Indonesia?
Cuma banyak yang berpikir, kalau ada orang menghina Indonesia, melecehkan Merah Putih saya tindak, nanti saya dihukum? Kok mikir bagaimana? Kalau ada yang menghina Merah Putih, melecehkan NKRI, ya kudu digebuk. Bahwa gara-gara saya menggebuk orang itu terus saya ditangkap, itu urusan lain.
Sekarang begini, Anda punya orang tua, tiba tiba dilecehkan orang, terus dianiaya. Anda gebuk nggak kalau menyaksikan sendiri? Setelah Anda gebuk itu orang, apa tidak ditangkap polisi juga? Apalah risiko. Jiwa seperti inilah yang sekarang tidak dimiliki. Soal persatuan dan kesatuan, generasi muda sekarang bukannya nggak ada, ya maaf tetapi tipis.
Kok bisa berapi-api kalau soal Merah Putih? Sementara sekarang banyak anak yang tidak terlalu peduli soal itu?
Bukan salah anaknya juga, salahnya lingkungan di mana dia dibesarkan. Saya mengalami banyak hal yang membentuk itu, menikmati penderitaan sejak kecil dalam menjalankan hak saya sebagai anak Indonesia.
Umur 14 tahun sudah meninggalkan rumah, berjuang cari makan. Kena tipu, kerja keras menerima penghinaan, menerima pendidikan lapangan yang keras dari pengawas lapangan karena saya kerja sama orang. Istilah saya, hampir semua luka di kaki saya ini itu tanda luka pendidikan lapangan yang keras.
Dulu kalau saya berbuat salah, di-kampleng. Dipanggil terlambat 10 menit, tendang. Nggak sengaja lewat pas ada upacara bendera, di-kampleng. Namun lama-lama berbuah nikmat, saya jadikan pendidikan bahwa saya tidak boleh salah. Saya pikir wajarlah, kalau memandang bendera pada saat upacara harus bersikap sempurna.
Indonesia ini dibangun dengan mahal, untuk menjadi NKRI kita butuh ratusan tahun. Jadi jangan disia-siakan pengorbanan para pahlawan. Intinya yang harus kita pikirkan bagaimana memperbaiki Indonesia dengan baik.
Ingat lagu Padamu Negeri? Saya nyanyi itu bulu kudu merinding. Anak-anak sekarang? Tinggal ucapan sekilas. Ini harus diubah.
Lewat mana mengubahnya?
Yang paling ampuh pendidikan. Kita selama ini sukses menghasilkan orang pinter. Banyak sarjana, doktor hingga profesor ketimbang jaman dulu. Namun berapa yang masih memiliki militansi tetap setia kepada NKRI, loyal dan teguh kepada Sumpah Pemuda serta siap memberikan segala-galanya demi berkibarnya Merah Putih? Ini yang sekarang luntur.
Akibatnya, orang semaunya melecehkan Merah Putih. Kalau Anda sekarang injek-injek itu bendera, berkelahi kita. Soal siapa menang kalah nomor dua, tetapi tindakan harus saya ambil. Nggak bisa karena kita kecil, terus nggak berani.
Filosofi itu yang saya harapkan ditanamkan kembali kepada anak-anak Indonesia dan ini paling ampuh melalui pendidikan dari pra sekolah, TK hingga SMA. Jadi lama-lama kita bisa membuat orang pintar tetapi tidak bisa membuat orang yang berkarakter dan berkepribadian.
Sejak kapan kesadaran soal nasionalisme ini muncul?
Saya kira mulai mendengar begitu saat mulai sekolah. Terus di lapangan kebetulan bekerja di bos saya yang rekanan ABRI. Dari dasar itulah saya berupaya sedikit demi sedikit karena setiap hari didoktrin senior-senior dan bergaul dengan para birokrat era jaman 80-an.
Slow but sure sesuai dengan bertambahnya umur, tingkat militansi itu makin bertambah. Ketika saya usia 17, soal itu menjadi harga mati.
Hanya waktu muda dulu, membela keyakinan itu dengan keras terhadap hal-hal yang bagi saya menyimpang dari nilai-nilai murni Indonesia. Makanya dicap seolah-olah saya preman. Memang saya bukan yang terbaik, saya juga banyak sekali kelemahan. Tapi saya selalu berusaha mengurangi kelemahan itu setahap demi setahap.
Jadi dulu sering berkelahi fisik?
Ya itu masa-masa umur 23 ke bawah. Saat itu kalau tidak nempeleng ya kena tempeleng. Namun bagaimana situasi dulu, saya kan tumbuh di daerah keras. Kalau saya salah, ya menerima, kalau nggak salah ya melawan.
Mungkin insting itu yang terbawa sampai hari ini. Tapi pun tidak benar kita sewenang-wenang merampas hak-hak orang. Cuma memang terhadap sesuatu inkonsistensi yang sifatnya berdampak pada hal yang prinsip itu zero tolerance. Tidak boleh ditolerir.
Tahun 1998 katanya titik balik Anda dalam hidup?
Bukan titik balik juga. Sederhananya, saya mengambil keputusan yang benar pada 1998. Saat begitu banyak bujuk rayu orang upaya pindah dari Indonesia. Saya tidak pindah, dan saya tidak akan pergi.
Banyak cobaan, tekanan dan godaan [untuk pergi dari Indonesia]. Semua saya hadapi. Mungkin itu bagian titik balik kita, dan saya merasa saya benar. Walaupun waktu itu ancaman dan tekanan kepada minoritas tinggi dan kepada saya pribadi juga tidak kecil, tetapi kenapa saya bisa menghadapi, ya kembali lagi karena sejak kecil saya diberi kebebasan oleh orang tua saya untuk menikmati hak menderita.
Kita jangan jadi Malin Kundang. Ibu sudah membesarkan kita, kerja setengah mati, walaupun nggak berlebihan cukup makan, kalau ibu sakit masa dikasih racun sih? Nah ini sama dengan Ibu Pertiwi. Masa kita racunin, itu saja sederhana berpikirnya.
Kalau tidak ada elemen NKRI kita ini tidak jadi orang Indonesia, tidak ada infrastruktur oleh NKRI kita juga nggak bisa berpakaian seperti ini.
Anda jadi pengusaha dapat duit di sini, ambil kekayaan alam Indonesia banyak banget. Masak duitnya simpan di luar? Itu kan [namanya] Malin Kundang.
Bahwa Indonesia belum sempurna, jangan membuat kita frustasi. Itu kan harus kita terima dan hadapi, tinggal bagaimana kita ikut memperbaikinya menjadi lebih sempurna. Indonesia ini jauh lebih cepat dewasa daripada negara lain.
Lihat Amerika, dia baru jadi stable sebagai negara dengan tidak melanggar HAM setelah berapa tahun sih? Australia berapa tahun sih? Pekan lalu saya bicara dengan PM Solomon Islands. Saya tanya dia, You kan sering ke Australia, ada nggak Aborigin jadi gubernur, jadi menteri? Ketawa dia..ha-ha
Kembali soal NKRI, apakah banyak pengusaha kita yang masih nasionalis?
Saya kira sangat banyak, silent majority. Namun yang harus tetap dibenahi biar tidak terkikis.
Anda menularkan juga ke anak-anak soal ini?
Saya kasih tahu ke anak-anak bahwa kalian dibesarkan rupiah. Jadi kalau sudah pintar, sekolah keluar negeri harus kembali pulang mengabdi kepada rupiah karena otaknya pedagang.
Bila setelah lulus kuliah ternyata tidak mau pulang, ya terserah karena sebagai pribadi mereka sudah dewasa. Saya tidak bisa melarang. Hanya bila itu yang mau dilakukan, kembalikan semua yang saya kasih, hanya boleh bawa badan. Maka saya tidak pernah kasih berlebihan waktu mereka sekolah di Amerika atau China.
Jadi intinya anak-anak harus kembali ke Indonesia mengawal rupiah. Saya bilang, kamu boleh bergaul dengan dolar, boleh bergaul dengan yen, tapi Ibu Pertiwi kamu rupiah.
Ya mereka sempat ngeledek. Papi, rupiah kan goyang-goyang. Saya sampaikan bagaimanapun goyangnya rupiah, itu yang membiayai kamu. Tanpa rupiah saya tidak bisa sekolahin kamu. Jadi saya kalau ngomong itu pakai hal-hal yang gampang, nggak perlu sekolah tinggi-tinggi juga gampang dicerna.
Bagaimana reaksi anak-anak?
Saya nggak tunggu reaksi, given. Take it or leave it, kalau leave it, tinggalin barang semuanya Lu pergi. Dan saya tidak akan memanggil anak saya lagi pulang, kalau dia berani ninggalin rumah. Haram saya panggil dia pulang, bagi saya anak nomor dua dan mungkin nomor tiga. Komitmen saya menjadi anak bangsa yang benar.
Jadi, kalau besok lusa demi kepentingan puluhan ribu orang anak Indonesia dan ternyata penghalangnya anak saya, pasti saya korbankan dia. Anak-anak tahu itu semuanya.
Pewawancara: Arif Budisusilo/Y. Bayu Widagdo/Akhirul Anwar
Wawancara sebelumnya: