BISNIS.COM, JAKARTA—PT Bakrie Swasakti Utama menyebut permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh R.H. Soetomo, pembeli apartemen Menara 5 Apartemen Taman Rasuna yang gagal dibangun, lemah secara hukum.
Kepala Divisi Hukum Bakrie Swasakti Utama (BSU) Jovial Mecca Alwis mengatakan masalah dengan para kreditur telah dirampungkan dalam penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) pada 2003.
“Masalah hak dan kewajiban di antara kedua belah pihak, telah diselesaikan melalui putusan penundaan kewajiban pembayaran utang di Pengadilan Niaga/Negeri Jakarta Pusat,” katanya dalam siaran pers Kamis (28/2).
Namun demikian yang bersangkutan secara tegas menolak untuk mematuhi keputusan pengadilan tersebut, kata Jovial.
“Berbeda dengan kreditur-kreditur lain dari BSU yang patuh dan secara bersama-sama dengan BSU telah menjalankan putusan PKPU tersebut dengan baik,” lanjutnya.
Sebelum mengajukan permohonan pailit ini, lanjut Jovial, Soetomo telah berulangkali melakukan upaya hukum yang pada akhirnya ditolak oleh pengadilan, sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Dedyk Eryanto Nugroho, kuasa hukum Soetomo, pada Rabu (27/2) mengatakan bahwa dalam proses PKPU itu kliennya tidak terlibat.
“Kami tidak pernah mengetahui dan tidak pernah diberitahukan dan tidak pernah diundang pengadilan atau pengurus untuk rapat kreditur,” jelas Dedyk. Kliennya juga tidak pernah ikut menandatangani perdamian sehingga PKPU dianggap tidak mengikat.
Seperti diketahui, anak usaha PT Bakrieland Development Tbk itu tengah menghadapi permohonan Soetomo agar dinyatakan pailit oleh majelis hakim pada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Pangkal masalahnya adalah soal utang yang timbul dari pembelian satu unit apartemen Taman Rasuna Apartemen tipe E seluas 75 meter persegi pada 20 Agustus 1993. Apartermen itu tak jadi dibangun, padahal pemohon sudah membayar uang muka.
Setelah melalui proses hukum yang panjang, tagihan Soetomo ke BSU kini menjadi Rp3,52 miliar. Padahal, nilai uang muka yang dibayar pada 1993 itu Rp57,52 juta atau 30% dari total harga apartemen.
Nilai tagihan tersebut menggelembung setelah Soetomo mengajukan masalahnya ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan perkaranya hingga ke Mahkamah Agung.