Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jalan-jalan: Mewah di Meguro, heboh di Nakamise

Reputasi Tokyo sebagai pusat kuliner global tampaknya tak pernah pudar. Kelezatan makanannya dipuji di seluruh dunia.

Reputasi Tokyo sebagai pusat kuliner global tampaknya tak pernah pudar. Kelezatan makanannya dipuji di seluruh dunia.

 

Pada November 2007, Michelin mengeluarkan panduan untuk rumah makan terbaik di Tokyo yang secara keseluruhan meraih 191 bintang. Sebanyak 8 tempat makan menyabet penghargaan hingga tiga bintang (Paris ada 10), sedangkan 25 lagi menerima dua bintang dan 117 lagi mendapat satu bintang.

 

Di kalangan delapan tempat makan besar itu, tiga buah menghidangkan masakan Jepang tradisional, dua lagi adalah toko sushi dan tiga yang selebihnya adalah restoran masakan Prancis. Saat itu Paris merupakan pesaing terdekat Tokyo soal kuliner.

 

Bolehlah pusat fashion dunia itu masih berada di peringkat pertama. Namun ibukota Jepang itu terlihat makin kreatif untuk memanjakan pecinta kuliner, termasuk bagi kalangan turis mancanegara.

 

Salah satu restoran bergengsi yang layak dicoba adalah Meguro Gajoen yang berlokasi jalan Shimomeguro 1-8-1, kawasan Meguro. Saya sempat menikmati suasana khas Jepang yang sarat sejarah ketika diundang makan malam oleh manajemen Fuji Xerox Co Ltd pada akhir September lalu. Acara tersebut merupakan bagian dari program tur yang diselenggarakan oleh perusahaan itu kepada sejumlah media di kawasan Asia Pasifik.  

 

Selain memang menawarkan segala hal yang bersifat khas Negeri Sakura, Meguro juga dirancang artistik dengan selera nilai seni kontemporer yang tinggi tanpa meninggalkan unsur-unsur tradisional Jepang. Bukti karya seni tinggi tersebut adalah sederet lukisan karya  Juppo Araki (1872-1944) yang secara khusus membalut dinding dan langit-langit restoran.

 

Hal yang menarik, tidak ada sebuah paku pun atau satu sapuan tipis lem untuk mendudukkan lukisan tersebut. Teknik yang digunakan adalah penempatan dengan sistem ‘pintu dorong’ atau Shoji. Salah satu pilar yang menjadi ‘kunci’ Shoji berasal dari batang pohon Ichii yang sudah berusia lebih dari 200 tahun. Pilar lainya berjuluk Pao Brazil dan dibuat dari batang pohon yang telah berusia 220 tahun. Kayu tersebut didatangkan khusus dari Amerika selatan.

Di era pemerintahan kaisar, Gajoen, yang juga bisa diartikan nama orang, dihormati sebagai lokasi suci karena merupakan Istana Dewa Laut. Perlahan, kawasan tersebut berkembang sebagai pusat aktivitas kalangan elit warga Tokyo dan pada 1931 wajah Gajoen lama bisa dibilang sudah terbentuk, tak lama setelah gempa besar mengguncang Tokyo.

 

Salah satu landmark awal pengembangan kawasan saat itu adalah pembangunan restoran yang ditujukan untuk kalangan atas. Pemiliknya membangun gedung tambahan yang terdiri dari ruang banquet, ruang tamu, ruang pemujaan, gereja, salon kecantikan, dan studio foto. Semuanya dirancang dalam satu kesatuan agar tercipta konsep all-in-one banquet atau hall untuk pesta pernikahan.  

 

Selama Perang Dunia II, Gajoen dievakuasi ke kapal perang AS agar barang-barang berharga di lokasi tersebut bisa diselamatkan dari kerusakan perang.

 

BERUBAH WAJAH

 

Namun sayangnya pada 1988 restoran mewah tersebut harus berubah wajah akibat penataan kota. Segudang benda seni terpaksa dipindahkan ke gedung baru. Hanya anak tangga yang berjumlah 100 dan beberapa bangunan inti yang masih bertahan.

 

Nah, Gajoen yang ada sekarang ditetapkan sebagai salah satu cagar budaya Tokyo dengan 7 ruangan bersejarahnya yakni Jippo, Gyosho, Sohkyu, Seisui, Seikoh, Kiyokata, dan Cyoujou. Nama-nama tersebut diambil dari nama seniman atau orang yang telah ikut berjasa mempercantik interior Gajoen seperti Sohkyu Isobe (1897-1967), Seisui Hashimoto, Seikoh Itakura (1895-1964), Kiyokata Kaburagi (1878-1972), dan Matsuoka.

 

Bila Anda ingin sensasi lain, restoran Italia LaRanarita bisa menjadi pilihan. Daya tarik utama restoran ini, selain memang masakannya yang lezat, adalah lokasinya yang berada di puncak gedung pencakar langit Azumabashi, sehingga para tamu bisa melihat langsung dari kaca horizon Tokyo, seperti pengalaman makan siang saya saat berada disana.  

 

Sebelum santap siang, saya dan rombongan berpelesir ke kuil Asakusa yang sangat bersejarah itu. Meski usianya sudah berabad-abad (dibangun tahun 628), kuil tertua di Tokyo tersebut tampak masih kokoh dan terawat. Tidak banyak perubahan wajah di kawasan itu sejak kunjungan pertama saya 7 tahun lalu. Bedanya, pada pelesiran kali ini saya ikut latah membersihkan tangan pakai gayung di pancuran khusus sebelum menuju pintu kuil. Bagi penganut Shinto, itu bukan sembarang cuci tangan dan juga mulut tetapi merupakan ritual suci pembersihan diri sebelum seseorang berdoa di kuil Senso-ji.

 

Kuil itu memiliki tiga gerbang. Kaminari-mon adalah pintu utama. Di gerbang besar yang terbuat dari kayu itu tergantung sebuah lampion raksasa berwarna merah. Di tiang sebelah kiri ada patung Dewa Angin, sedangkan yang di kanan adalah patung Dewa Badai.

 

Namun magnet utama bagi turis asing yang berkunjung ke kompleks Asakusa adalah koridor Nakamise. Jalan sepanjang 250 meter itu merupakan pasar tradisonal aneka jajanan tradisional dan cinderamata bagi para turis.

 

Pemandu wisata lokal sering sewot bila mengantar rombongan turis asing ke kawasan tersebut. Penyebabnya cuma satu: Lupa waktu! ([email protected])

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : News Editor
Sumber : Inria Zulfikar

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper