Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sorotan: Rupiah tak menguat sendirian

Satu musim telah berganti. Setengah warsa telah dilewati. Sebuah waktu yang sarat ragam corak gejolak ekonomi dan politik, mulai dari tataran global hingga domestik.Satu hal cukup menarik perhatian pasar dan para pelaku ekonomi terjadi pada kurun tersebut.

Satu musim telah berganti. Setengah warsa telah dilewati. Sebuah waktu yang sarat ragam corak gejolak ekonomi dan politik, mulai dari tataran global hingga domestik.Satu hal cukup menarik perhatian pasar dan para pelaku ekonomi terjadi pada kurun tersebut. Penguatan nilai tukar rupiah terhadap mata uang global, dolar AS.Sepanjang 6 bulan pertama tahun ini, rupiah di pasar spot telah menguat 409 poin atau 4,55% sejak membuka perdagangan pada awal tahun di level Rp8.988 dan menutup sesi perdagangan 30 Juni di level Rp8.579 per dolar AS.Jika mengacu data kurs tengah Bank Indonesia, rupiah telah menguat 379 poin atau 4,22%. Pada awal perdagangan tahun ini, kurs tengah rupiah ada di level Rp8.976 per dolar AS dan menguat hingga Rp8.597 per dolar AS pada 30 Juni. Penguatan rupiah relatif stabil karena ada peningkatan kualitas arus modal masuk (capital inflow). Jika dilihat dari penempatan dana maka saat ini investor asing cenderung memilih sektor rill berupa foreign direct investment (FDI) dibandingkan dengan portofolio seperti obligasi, Sertifikat Bank Indonesia (SBI), atau saham.Optimisme pertumbuhan ekonomi global, rendahnya tingkat suku bunga di negara maju, dan daya tarik aset negara berkembang, telah mendorong arus dana mengalir deras ke pasar keuangan di dalam negeri dan di kawasan. Banyak pengamat sepakat derasnya aliran dana asing ini yang sudah mendorong apresiasi mata uang lokal.Rupiah tidak menguat sendiri. Sejumlah mata uang yang paling diperdagangkan di Asia selama semester pertama tahun ini juga sama-sama menguat terhadap dolar AS. Won Korea Selatan misalnya, menguat 47,75 poin atau 4,23% dari 1.126,5 menjadi 1.078,75 per dolar AS.Apresiasi juga terjadi pada ringgit Malaysia, yuan China, peso Filipina, dolar Singapura, dan dolar Taiwan. Depresiasi nilai tukar mata uang hanya terjadi pada baht Thailand, rupee India, dan yen Jepang.Satu hal yang cukup menarik disimak, rupiah menguat dengan fluktuasi yang relatif terkendali dan volatilitas lebih terjaga dibandingkan dengan mata uang lain di kawasan. Berbeda dengan mata uang lain yang cenderung berfluktuasi.Berdasarkan catatan Bisnis terhadap pergerakan mata uang di pasar spot, tingkat volatilitas terbesar terjadi pada sesi perdagangan 26 April sebesar 52 poin. Volatilitas terendah terjadi pada 22 April dengan sebesar 7 poin. "Memang salah satu perhatian Bank Indonesia adalah menjaga volatilitas," ujar Kepala Biro Humas Bank Indonesia Difi A. Djohansyah.Laju penguatan semakin terasa memasuki kuartal kedua. Pada periode tersebut, rupiah berkali-kali mencetak rekor terkuat dalam 7 tahun sejak Mei 2004. Pada periode tersebut rupiah setidaknya telah 12 kali memecah rekor nilai penutupan terkuat dalam 7 tahun, antara lain pada sesi perdagangan tertanggal 6, 8, 11, 21, 22, 25, 28, dan 29 April 2011; lalu pada 2, 11, dan 31 Mei; dan kemudian posisi penutupan terkuat pada 6 Juni 2011 di level Rp8.505 per dolar AS.Penguatan rupiah ke level terkuatnya karena bank sentral mensinyalkan teloransi apresiasi mata uang untuk mengontrol inflasi. Bank Indonesia memandang penguatan rupiah masih sejalan dengan tren apresiasi mata uang di kawasan Asia.Banyak pihak menyambut positif penguatan rupiah. Namun tidak sedikit pula yang merasa dirugikan dengan penguatan tersebut. Para eksportir misalnya. Mereka menilai penguatan nilai tukar dapat mereduksi potensi keuntungan.Namun sampai sejauh ini otoritas menilai apresiasi belum menekan kinerja ekspor. Meskipun rupiah melemah, kinerja ekspor masih tertolong tingginya harga komoditas di pasar dunia. Pihak Bank Indonesia mengakui nilai tukar rupiah dapat menguat tidak terkendali jika otoritas moneter itu tidak melakukan intervensi dengan menyerap kelebihan ekses likuiditas di pasar. Intervensi dilakukan untuk menjaga rupiah tidak menguat terlalu tajam. Kalaupun menguat, ujar Difi, maka penguatannya harus secara bertahap, tidak tiba-tiba. "Makanya BI turun ke pasar untuk menyerap kelebihan ekses likuiditas," ujarnya dalam sebuah diskusi, belum lama ini.Jika BI tidak mengintervensi dengan menyerap kelebihan ekses likuiditas di pasar, maka suku bunga di pasar uang pun tidak akan berada di level saat ini. Tim moneter bahkan pernah menganalisis kelebihan ekses likuiditas yang mencapai Rp400 triliun dapat membuat tingkat suku bunga acuan (BI rate) sangat rendah di level mendekati 0%.Sepanjang semester I/2011, tercatat bank sentral hanya satu kali menaikkan BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 6,75% pada Februari. Pada rapat terakhirnya, Dewan Gubernur BI menjaga suku bunga acuan tidak berubah.BI menilai jika jumlah ekses likuiditas dibiarkan begitu besar dan tingkat suku bunga menjadi rendah, maka dua hal akan terganggu. Pertama, nasib nilai tukar tidak jelas. Kedua, nasib inflasi juga tidak jelas./Krisis Yunani/Menjelang akhir semester I, pasar dunia kembali cemas. Pasalnya muncul kekhawatiran krisis utang Yunani dapat semakin memburuk ditambah sinyal perlambatan pertumbuhan ekonomi global setelah pemerintah AS mengumumkan turunnya tingkat penjualan ritel dan kenaikan pengangguran. Bank sentral AS, The Federal Reserved, memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi untuk 2011 dan menaikkan perkiraan pengangguran. Sementara itu Yunani harus mendapat persetujuan parlemen untuk langkah penghematan 78 miliar euro (US$111 miliar) setelah para pemimpin Uni Eropa berjanji menstabilkan kawasan tersebut.Gabungan kedua hal tersebut membebani pikiran investor dan mengurangi ketertarikan mereka terhadap aset pasar negara berkembang. Dapat dilihat pada 2 pekan terakhir Juni, dolar AS cenderung menguat dan mata uang Asia, termasuk rupiah, menjadi terdepresiasi. Rupiah menutup perdagangan pada sepekan terakhir Juni (20 - 24) melemah terhadap dolar AS.Seperti dikatakan Direktur Operasi Moneter BI Hendar, pelemahan rupiah baru-baru ini hanya sementara. Mata uang itu kemungkinan akan melanjutkan tren apresiasi terhadap dolar AS. Direktur Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter BI Perry Warjiyo memperkirakan tren penguatan akan berlanjut dengan laju lebih lambat dibandingkan dengan periode sebelumnya. Gubernur BI Darmin Nasution menyebutkan rata-rata nilai tukar rupiah dapat tetap berada di bawah kisaran Rp8.770-an per dolar AS sampai dengan akhir tahun. Otoritas moneter itu berasumsi nilai tukar pada tahun depan akan sedikit melemah di kisaran Rp8.600-Rp9.100 per dolar AS dengan rata-rata di kisaran Rp8.700 per dolar AS. Angka tersebut lebih kuat dibandingkan asumsi pemerintah yaitu Rp9.000- Rp9.300 per dolar AS. "Tahun depan akan tetap ada capital inflow, meskipun dengan tingkat yang lebih rendah dibandingkan dengan tahun ini," katanya.Sementara itu kepala ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti memperkirakan rupiah dapat menguat sebesar 7%-8%, lebih tinggi dari laju sepanjang tahun lalu sebesar 4,4%. Sejauh mana kinerja rupiah pada sisa tahun berjalan? Mari kita lihat bersama. ([email protected])

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : News Editor
Editor : Nadya Kurnia

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper