Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Memahami Beda Quick Count, Exit Poll, dan Hitung Resmi KPU Pada Pemilu

Metode hitung cepat atau quick count adalah sumbangan ilmu pengetahuan yang banyak manfaatnya. Namun, ada pihak yang kini justru menilai quick count tidak dilakukan secara ilmiah dan tak menunjukkan realitas di lapangan.
Warga menunjukkan jarinya yang telah dicelupkan tinta usai memberikan hak suaranya dengan latar poster Calon Presiden petahana nomor urut 01 Joko Widodo di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (17/4/2019). Berbagai lembaga survei yang menggelar hitung cepat (quick count) usai pemungutan suara Pemilu serentak 2019 sementara mencatat keunggulan pasangan nomor urut 01. ANTARA FOTO/Zabur Karuru
Warga menunjukkan jarinya yang telah dicelupkan tinta usai memberikan hak suaranya dengan latar poster Calon Presiden petahana nomor urut 01 Joko Widodo di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (17/4/2019). Berbagai lembaga survei yang menggelar hitung cepat (quick count) usai pemungutan suara Pemilu serentak 2019 sementara mencatat keunggulan pasangan nomor urut 01. ANTARA FOTO/Zabur Karuru

Bisnis.com, JAKARTA – Hasil Pemilu 2019 secara resmi baru bisa diketahui masyarakat Indonesia pada 22 Mei mendatang. Akan tetapi, bukan berarti tak ada cara bagi masyarakat mengetahui gambaran hasil pemilu sebelum penghitungan resmi selesai dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.

Sejak pemilu legislatif dan presiden 2004, metode hitung cepat (quick count) sudah ada dan dilakukan untuk menghitung cepat hasil pemilu di Indonesia. Saat itu, lembaga yang melakukan hitung cepat pertama di Indonesia adalah Lembaga Penelitian Pendidikan Penerapan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).

Hitung cepat, berdasarkan definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah “metode untuk memverifikasi hasil pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah berdasarkan hasil yang diperoleh dari sejumlah tempat pemungutan suara yang dijadikan sampel.”

Sejak digunakan pertama kali pada 2004, hitung cepat selalu ada di babakan pemilu legislatif dan presiden di Indonesia. Hingga Pemilu 2019, hitung cepat menjadi salah satu rujukan untuk masyarakat mengetahui hasil pemilu sebelum KPU RI mengeluarkan hasil penghitungan resmi.

Saat digunakan pertama kali pada 2004, hasil hitung cepat berbeda tipis dengan penghitungan resmi yang dilakukan KPU RI. Berdasarkan penelurusan Bisnis, selisih suara Partai Golkar sebagai pemenang Pileg 2004 antara hitung cepat dengan penghitungan KPU RI hanya berbeda 0,9 persen. Begitu juga hasil hitung cepat Pilpres 2004 yang selisihnya dengan hasil resmi KPU RI hanya berbeda 0,9 persen.

Pada Pemilu 2009, ada beberapa lembaga yang menyelenggarakan hitung cepat untuk pilpres. Rata-rata lembaga survei menempatkan elektabilitas SBY-Boediono sebagai pemenang pemilu saat itu sebesar 58—60 persen.

Hasilnya, hitung cepat di pilpres 2009 berbeda tipis dengan penghitungan resmi KPU RI. Berdasarkan hitung resmi KPU RI, pasangan SBY-Boediono menang di pemilu dengan raihan 60,8 persen suara.

Warga mengakses Sistem Informasi Penghitungan Suara (SITUNG) Pemilu 2019 menggunakan gadget android di Tulungagung, Jawa Timur, Kamis (18/4/2019)
Warga mengakses Sistem Informasi Penghitungan Suara (SITUNG) Pemilu 2019 menggunakan gadget android di Tulungagung, Jawa Timur, Kamis (18/4/2019)

Warga mengakses Sistem Informasi Penghitungan Suara (SITUNG) Pemilu 2019 menggunakan gadget android di Tulungagung, Jawa Timur, Kamis (18/4/2019). ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko

 HASIL 2014

Memasuki 2014, hitung cepat di pilpres juga dilakukan banyak lembaga. Akan tetapi, hasil hitung cepat tak seragam karena ada 7 lembaga yang menyebut Jokowi-JK menang, dan 4 lembaga menempatkan Prabowo-Hatta Radjasa sebagai pemenang.

Salah satu lembaga yang menyelenggarakan hitung cepat di pilpres 2014 adalah Populi Centre. Saat itu, Populi Centre memprediksi suara Jokowi-JK sebesar 50,95 persen dan Prabowo-Hatta 49,05 persen.

Hasil hitung cepat Populi kala itu berbeda tipis dengan hasil resmi KPU, dimana Jokowi-JK keluar sebagai pemenang dengan raihan 53,15 persen suara dan Prabowo-Hatta mendapat 46,85 persen. Hasil itu juga tak berbeda jauh dengan hitung cepat yang dilakukan 6 lembaga lain.

Salah satu lembaga yang juga melakukan hitung cepat pada pilpres 2014 adalah LSI Denny JA. Pada hitung cepat yang dilakukan, LSI memprediksi Jokowi-JK pada saat itu mendapat 53,37 persen suara sedangkan Prabowo-Hatta 46,43 persen. Margin antara hitung cepat LSI dan hasil resmi pemilu lebih kecil dibanding perbedaan hitung cepat Populi Centre.

Direktur Riset Populi Centre Usep S Ahyar mengatakan, hasil hitung cepat wajarnya berbeda tipis dengan perhitungan resmi yang dilakukan KPU RI. Sebab, hitung cepat dilakukan menggunakan metode dan hitungan yang sudah teruji.

“Ini sumbangan ilmu pengetahuan, terutama statistik yang sudah teruji dengan baik,” kata Usep kepada Bisnis, Jumat (19/4/2019).

Hasil penghitungan sementara dari KPU untuk Pilpres 2019

METODE QUICK COUNT

Anggota Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik (Persepi) Hamdi Moeloek menjelaskan, ada perbedaan yang harus dipahami antara hitung cepat, exit poll, dan penghitungan resmi KPU RI. Perbedaan muncul lantaran metode yang digunakan ketiga penghitungan itu tidak sama.

Dalam penghitungan cepat, lembaga-lembaga survei melakukan kegiatan dengan mengambil sampel dari seluruh tempat pemungutan suara (TPS) di Indonesia yang jumlahnya 813.350. Sampel penghitungan cepat rata-rata berjumlah 2.000 TPS.

Sampel dipilih lembaga survei secara acak. Setelah itu, dari tiap TPS sampel lembaga survei mengambil data hasil pemungutan suara yang tertuang di formulir C1. Hasil sampel itulah yang dikirim ke kantor pusat masing-masing lembaga untuk diolah sehingga muncul persentase hasil pemungutan suara.

“Sama juga dengan logikanya kalau Anda mau periksa darah, kan, nggak semua darahnya anda sedot. Atau misal mau coba soto banjar satu gentong, kan, nggak usah makan semua untuk tahu rasanya asin atau nggak,” kata Hamdi kepada Bisnis, Kamis (18/4/2019).

Hamdi menyebut, pelaksanaan hitung cepat tidak boleh salah. Kalaupun ada perbedaan hasil hitung cepat dengan penghitungan resmi KPU RI, harusnya selisih hanya berada di kisaran 0,5 sampai 1 persen.

Selisih tipis antara hasil hitung cepat dan penghitungan resmi KPU RI harus terjadi karena lembaga survei sejatinya mengambil cuplikan data hasil pemungutan suara yang valid dari TPS sampel. Menurut Hamdi, hal itu berbeda dengan pengambilan sampel ketika survei dilakukan pra pemungutan suara.

“Karena kita menghitung sesuatu yang sudah jadi kenyataan. Berbeda jauh dengan survei. Survei itu perilaku memilih baru terjadi saat pencoblosan 6 bulan lagi misalnya, faktor error-nya banyak. Misal, orang kadang nggak jujur atau bisa berpindah pilihan seminggu setelah survei,” tuturnya.

Memahami Beda Quick Count, Exit Poll, dan Hitung Resmi KPU Pada Pemilu

METODE SAMPLING

Pendapat sama dikemukakan Usep. Dia menjelaskan, dalam melakukan hitung cepat lembaganya menggunakan metode systematic sampling untuk mengambil sampel TPS.

Ada dua cara umum untuk mengambil sampel TPS dalam melakukan hitung cepat.

Pertama, lembaga terkait menggunakan systematic sampling yakni mengambil sampel dari daftar lengkap TPS berdasarkan interval yang sudah ditetapkan. Kedua, lembaga terkait menggunakan multi-stage random sampling dengan mengambil daerah-daerah secara acak dan mencuplik TPS di daerah terpilih juga secara acak.

“Cara kedua dilakukan jika daftar lengkap TPS tidak tersedia. Karena kami memiliki daftar lengkap TPS dari KPU, maka metode yang sesuai adalah systematic sampling,” kata Usep.

Berbeda dengan Populi yang menggunakan metode systematic sampling, pada hitung cepat Pemilu 2019 LSI Denny JA menerapkan metode multistage random sampling. Lembaga ini mengambil sampel dari 2.000 TPS yang tersebar di seluruh daerah, dengan margin of error 1 persen.

“Metode itu sama dengan hitung cepat di pemilu-pemilu yang sudah berjalan. Paling yang berbeda sistem inputnya saja,” ujar peneliti LSI Denny JA, Rully Akbar.

Memahami Beda Quick Count, Exit Poll, dan Hitung Resmi KPU Pada Pemilu

 BEDANYA DENGAN EXIT POLL & HITUNG RESMI

Pada exit poll, lembaga survei melakukan penghitungan atas pengakuan orang setelah melakukan pemungutan suara. Pengambilan sampel bukan berdasarkan data hasil pemungutan suara di TPS, namun langsung dilakukan ke pemilih setelah mereka gunakan hak pilih.

Exit poll biasanya lebih menggambarkan perilaku yang sesungguhnya. Namun, hasil exit poll tidak akan seakurat hitung cepat.

Untuk penghitungan resmi hasil Pemilu 2019, KPU RI melakukannya secara berjenjang. Pertama, penghitungan dilakukan di TPS pada 17 April hingga maksimal 18 April pukul 12.00.

Setelah itu, suara dari masing-masing TPS akan direkapitulasi di tingkat kecamatan pada 18 April-5 Mei 2019. Rekapitulasi suara Pilpres 2019 akan berlanjut di tingkat kabupaten/kota pada 20 April-8 Mei 2019.

Setelah itu, rekapitulasi dilakukan di KPU provinsi pada 22 April hingga 13 Mei 2019. Rekapitulasi dan penetapan hasil pilpres 2019 tingkat nasional akan dilakukan KPU RI pada 22 Mei 2019.

Hamdi menjelaskan, ada persamaan antara survei pra pemungutan suara, hitung cepat, dan exit poll. Kesamaannya adalah, ketiga metode itu sama-sama menggunakan sampel yang ditentukan secara acak.

“Kalau survei masih pendapat yang ditanyakan, persepsi orang [sebelum memilih]. Makanya tingkat akurasinya lebih rendah, bisa naik turun [elektabilitas kandidat yang ditanyakan],” katanya.

Memahami Beda Quick Count, Exit Poll, dan Hitung Resmi KPU Pada Pemilu

Klaim kemenangan kubu Prabowo

NARASI MENYESATKAN SOAL HITUNG CEPAT

Pada Pemilu 2019, tak sedikit orang yang memandang negatif pelaksanaan hitung cepat dari beberapa lembaga. Hitung cepat dinilai tidak dilakukan secara ilmiah dan tak menunjukkan realitas di lapangan.

Salah satu pihak yang mengkritik hitung cepat di Pemilu 2019 adalah Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Direktorat Advokasi dan Hukum BPN Djamaluddin Koedoeboen bahkan sudah melaporkan 6 lembaga survei yang melakukan hitung cepat ke KPU RI.

BPN menganggap lembaga survei tidak ilmiah dalam melakukan hitung cepat pemilu 2019. Menurut mereka, sebaiknya lembaga survei menunggu hasil resmi KPU terkait dengan hasil Pemilu 2019. Sebab, masyarakat dianggap sedang bingung dengan hasil pemilu sesungguhnya.

Sikap BPN itu ditanggapi Hamdi. Menurutnya, ada narasi menyesatkan di publik yang membuat seolah-olah kegiatan hitung cepat tak bisa dipercaya. Menurut Persepi, publik harus tahu beda antara survei pra-pemilu dan hitung cepat, sebelum memberi penilaian atas kegiatan lembaga survei.

“Kalau survei yang dipotret adalah perasaan, sikap, keinginan, kesukaan, preferensi, atau opini masyarakat. Survei hanya semacam prediksi kemungkinan siapa yang akan dipilih. Kalau di hari H sudah terjadi peristiwa pencoblosan, berarti itu perilaku [pemilih] sesungguhnya,” ujarnya.

Hamdi mencontohkan, banyak narasi yang membandingkan hasil survei sejumlah lembaga dengan hasil Pilkada DKI Jakarta 2017. Pada survei pra Pilkada 2017, sejumlah lembaga survei memposisikan elektabilitas Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Syaiful Hidayat di atas Anies Baswedan-Sandiaga Uno dan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni.

Akan tetapi, hasil Pilkada DKI setelah berlangsung 2 putaran menempatkan Anies-Sandi sebagai pemenang. Publik kemudian menganggap hasil survei pilkada salah meramalkan gubernur terpilih ibu kota.

“Mereka yang klaim salah itu, mereka nggak tahu kalau mereka salah juga ngomong begitu. Semua lembaga di hitung cepat putaran kedua [Pilkada DKI] clear, Anies menang dengan Ahok,” ujarnya.

Hamdi mengatakan, kasus Pilkada DKI harus dilihat secara parsial. Menurutnya, wajar jika dalam survei pra pemilihan seorang kandidat mendapat posisi unggul, namun kalah pada saat pemungutan suara.

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu mengatakan, pada Pilkada DKI 2017 survei pra pemilihan memang mayoritas menyebut elektabilitas Ahok di atas kandidat lain. Akan tetapi, pasca munculnya kasus penodaan agama elektabilitas Ahok perlahan berkurang di hasil survei-survei yang dilakukan banyak lembaga.

“Setelah kasus itu keluar, kan, [elektabilitas] Ahok mulai turun sistematis. Ketika sudah hitung cepat baik di putaran 1 atau 2 semuanya [lembaga survei] benar. Jadi mereka tak bisa bedakan mana quick count dan survei, campur baur. Saya capek melayani orang ngeyel seperti Itu tapi tak berdasarkan ilmu,” katanya.

Pendapat serupa dikemukakan Usep. Dia menyebut secara keilmuan metodologi hitung cepat yang dilakukan lembaganya sudah solid. Metode yang sama juga solid jika dilakukan lembaga yang punya integritas.

“Ini sumbangan ilmu pengetahuan yang banyak manfaatnya. Di situ juga ada margin of error tapi tidak besar,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Lalu Rahadian
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper