Bisnis.com, JAKARTA -- Mantan Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar menegaskan bahwa jatah lahan yqng diberikan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk proyek Meikarta hanya 84,6 hektare.
Namun, pada kenyataannya lahan yang digunakan dalam pengerjaan proyek Meikarta jauh dari yang sudah disetujui oleh Pemprov Jawa Barat, yakni sekitar 500 ha.
"Pemkab bukan urusan kita, yang jelas pertengahan 2017 Provinsi Jawa Barat mengeluarkan rekomendasi hanya 84,6 ha saja," ujar Deddy saat mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menjalani pemeriksaan sebagai saksi, Rabu (12/12/2018).
Deddy mengatakan sejak awal dirinya merasa ada masalah dalam rencana pembangunan Meikarta. Salah satu alasannya adalah karena proyek tersebut dibangun di kawasan strategis yang membutuhkan rekomendasi Pemerintah Provinsi.
"Sejak awal kan saya yang mengatakan ada yang kurang beres dalam masalah rencana pembangunan Meikarta. Pertama karena itu di kawasan strategis Provinsi yang harus mendapatkan rekomendasi dari provinsi. Makanya, sekarang ini wajar kalau KPK minta keterangan saya dan saya ikuti semua proses rekomendasi," lanjutnya.
Menurut Deddy, setiap kawasan strategis provinsi (KSP) harus ada rekomendasi dari provinsi. Deddy juga mengaku dirinya bertanya-tanya begitu Meikarta dipromosikan.
Baca Juga
"Saya katakan, ini apa?" ucapnya.
Sembilan orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap izin proyek Meikarta. Mereka terdiri dari pemberi dan penerima suap.
Sebagai pihak pemberi terdapat nama Billy Sindoro, Direktur Operasional PT Lippo Grup; Taryudi, Konsultan Lippo Grup; Fitra Djaja Kusuma, Konsultan Lippo Grup; dan Henry Jasmen, Pegawai Lippo Grup.
Sebagai pihak penerima yang ditetapkan sebagai tersangka yaitu Neneng Hasanah Yasin, Bupati Bekasi; Jamaludin, Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi; Sahat MBJ Nahor, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Bekasi; Dewi Tisnawati, Kepala Dinas DPMPTSP Kabupaten Bekasi; dan Neneng Rahmi, Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi.
Pihak yang diduga penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 atau Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Khusus untuk Jamaludin, Sahat MBJ Nahor, Dewi Tisnawati, dan Neneng Rahayu disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sementara itu, pihak pemberi disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.