Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ajakan Prabowo Subianto yang Satu Ini Dianggap Berbahaya

Koordinator Divisi Penelitian Lembaga Pusat Kajian Media dan Komunikasi Remotivi, Muhamad Heychael, menyebut ajakan calon presiden Prabowo Subianto agar pendukungnya tak percaya dan tidak menghormati media massa dan jurnalis justru berbahaya.
Calon Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto berpidato saat menghadiri peringatan Hari Disabilitas Internasional di Jakarta, Rabu (5/12/2018)./ANTARA-Hafidz Mubarak A
Calon Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto berpidato saat menghadiri peringatan Hari Disabilitas Internasional di Jakarta, Rabu (5/12/2018)./ANTARA-Hafidz Mubarak A

Bisnis.com, JAKARTA - Koordinator Divisi Penelitian Lembaga Pusat Kajian Media dan Komunikasi Remotivi, Muhamad Heychael, menyebut ajakan calon presiden Prabowo Subianto agar pendukungnya tak percaya dan tidak menghormati media massa dan jurnalis justru berbahaya.

Heychael mengatakan, ujaran itu bukanlah bentuk pendidikan politik yang baik dan mendewasakan.

"Menurut saya ini jadi berbahaya. Itu bukan pendidikan politik yang mendewasakan," kata Heychael, Rabu (5/12/2018) malam.

Heychael mengatakan media massa di Indonesia memang memiliki masalah keberpihakan.

Dia menyinggung sejumlah media yang berpotensi bias ke calon presiden petahana, Joko Widodo, semisal lantaran pemilik medianya merupakan pimpinan partai pendukung Jokowi di Pilpres 2019.

Namun, ujar Heychael, Prabowo dan timnya seharusnya memberikan argumen apa yang mendasari ketidakpercayaan tersebut dan meletakkannya secara kontekstual, bukan memukul rata semua pemberitaan dan melabel media.

"Apa berita yang bisa dikatakan benar dan tidak. Harusnya kan dilihat di situ, bukan kemudian melabel,"

Heychael menuturkan ujaran Prabowo itu menunjukkan lemahnya literasi media di Indonesia. Dia pun menyinggung beredarnya rencana aksi demonstrasi yang dilakukan sebuah organisasi. Dalam selebaran digital yang beredar, salah satu tuntutan aksi adalah meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika mencabut izin Harian Kompas. Tempo sudah mencoba menghubungi narahubung yang tercantum untuk mengkonfirmasi rencana aksi itu, tetapi belum direspons.

Padahal, lanjut Heychael, tak lagi surat izin untuk usaha media massa di Indonesia. Era surat izin itu hanya pernah ada di rezim Soeharto dengan nama SIUPP, Surat Izin Usaha Penerbitan Pers yang diurus Kementerian Penerangan. Kewajiban memiliki SIUPP ini dicabut di era pemerintahan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie.

Heychael berujar, contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa masih banyak pihak belum memahami kanal yang harus dituju jika tak terima dengan pemberitaan media massa.

"Pertama itu salah alamat (protes ke Kominfo). Kedua, apa yang diributkan? Framing atau etik? Kalau framing bisa dengan membuat surat pembaca, boikot masih sah. Kalau etik, ke Dewan Pers," ujar mantan Direktur Remotivi ini.

Heychael melanjutkan, sikap Prabowo yang menganjurkan untuk tidak mempercayai media dan wartawan tanpa membeberkan argumen malah akan membuat pendukungnya tak berpikir kritis. Lebih jauh, Heychael menduga Prabowo dan timnya sedang mengimpor model kampanye Donald Trump di Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2016.

Model kampanye itu, kata Heychael, dilakukan Trump dengan membuat publik tak percaya kepada media massa arus utama.

"Kalau kita mengikuti Trump, kita tahu salah satu yang membuat dia menang adalah membuat orang tidak percaya media. Dia membuat kekaburan tentang kebenaran," kata Heychael.

Dia menyebut model kampanye ini berbahaya jika dilanjutkan. Sebab, potensinya adalah polarisasi dan pembelahan di kalangan masyarakat. Dia mengatakan, polarisasi ini bisa berimbas panjang bahkan setelah pemilihan presiden 2019 rampung.

"Siapa pun nanti yang menang setelah 2019 akan menghadapi masyarakat yang terbelah kalau menggunakan metode kampanye seperti ini," ujar pengajar di Universitas Multimedia Nusantara ini.

Heychael mengimbuhkan, media perlu lebih mengambil peran sebagai pendidik di tengah situasi seperti sekarang. Kata dia, literasi media perlu lebih diarusutamakan. Publik perlu mengetahui bahwa kerja-kerja jurnalistik dilakukan dengan transparan dan akuntabel.

Selain itu, media massa juga harus menjelaskan kepada publik ihwal kanalisasi protes terkait pemberitaan. Misalnya, kata Heychael, masyarakat mesti tahu bahwa Undang-undang Pers menjamin wartawan tidak bisa dikriminalisasi dan sudah tak ada lagi SIUPP.

"Media harus lebih menjelaskan proses kerja jurnalistik seperti ini, transparan, akuntabel, menjelaskan hal-hal yang sebetulnya sudah berpegang pada prinsip, sambil mengarusutamakan literasi media," kata Heychael.

Sebelumnya, calon presiden sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto memprotes media dan wartawan terkait pemberitaan Reuni 212. Prabowo protes lantaran menilai banyak media kondang tak memberitakan acara itu. Dia juga tak terima dengan media yang menyebut massa yang hadir tak mencapai belasan juta.

Prabowo lantas meminta para pendukungnya untuk tak mempercayai jurnalis dan media massa lagi.

 "Saya tidak akan mengakui anda sebagai jurnalis lagi. Enggak usah, saya sarankan anda tak usah hormat sama mereka lagi," kata Prabowo dalam pidatonya saat menghadiri acara peringatan Hari Disabilitas Internasional di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Rabu (5/12/2018).

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : JIBI
Editor : Nancy Junita
Sumber : Tempo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper