Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Hari Ini Ketua Komisi Yudisial Diperiksa Polisi. Betulkah Ada Kriminalisasi?

Ketua Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus menjalani pemeriksaan sebagai saksi terkait laporan hakim Cicut Sutiarso terhadap Juru Bicara KY Farid Wajdi. Betulkah KY sedang dikriminalisasi?
Kiri ke kanan: Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin, Direktur Remotivi Roy Thaniago, Ketua AJI Jakarta Asnil Bambani dalam diskusi publik Ancaman Kriminalisasi Narasumber dalam Berita, Selasa (4/12/2018)
Kiri ke kanan: Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin, Direktur Remotivi Roy Thaniago, Ketua AJI Jakarta Asnil Bambani dalam diskusi publik Ancaman Kriminalisasi Narasumber dalam Berita, Selasa (4/12/2018)

Bisnis.com, JAKARTA — Hari ini, Rabu (5/12/2018), Ketua Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus menjalani pemeriksaan sebagai saksi terkait laporan hakim Cicut Sutiarso terhadap Juru Bicara KY, Farid Wajdi. Betulkah KY sedang dikriminalisasi?

Selain Jaja, Farid Wajdi juga akan menjalani pemeriksaan sebagai saksi terlapor. Kuasa hukum Farid Wajdi, Mahmud Irsad Lubis menjelaskan soal rencana  kehadiran kliennya memenuhi panggilan Polda Metro Jaya, berdasarkan surat Panggilan Saksi ke II Nomor S.Pgl/11044/XI/2018/Ditreskrimum pada Rabu (5/12/2018) ini.

"Sesuai dengan panggilan, Bapak Farid rencananya akan hadir pada pukul 14.00 WIB di Unit V Subditkamneg Ditreskrimum Polda Metro Jaya," ujar Mahmud.

Dia menjelaskan Farid Wajdi memenuhi panggilan Polda Metro Jaya sebagai saksi kasus pemberitaan media nasional dan merupakan penugasan dari Ketua KY Jaja Ahmad Jayus.

"Pemanggilan kedua ini terkait laporan Ketua Umum Persatuan Tenis Warga Peradilan (PTWP) Syamsul Ma'arif terhadap Juru Bicara KY Farid Wajdi," jelas Mahmud.

Pada Rabu (12/9/2018), Farid Wajdi memberikan pernyataan dalam satu media cetak nasional yang menyebutkan persoalan terkait keluhan hakim di daerah akibat adanya kewajiban iuran untuk mendukung turnamen tenis di lingkungan pengadilan.

Atas pernyataan di media cetak tersebut, Farid kemudian dilaporkan oleh Ketua Umum Persatuan Tenis Warga Peradilan (PTWP) Syamsul Ma'arif dan Hakim Tinggi Cicit Sutiarso ke Polda Metro Jaya dengan menggunakan Pasal 28 (2) Jo. Pasal 45A ayat (2) UU ITE.

Namun, pihak kuasa hukum Farid menjelaskan pernyataan kliennya dalam berita tersebut tidak mengandung kebencian maupun permusuhan, apalagi memiliki tujuan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 (2) Jo. Pasal 45A ayat (2) UU ITE.

Terkait dengan pernyataan Farid dalam berita tersebut, Dewan Pers juga telah memberikan penilaian yang menyatakan bahwa Farid Wajdi melakukan tugas sebagai Juru Bicara KY, sehingga jika ada yang keberatan dengan pemberitaan tersebut maka dapat melalui hak jawab atau hak koreksi.

Mahmud menyebutkan Dewan Pers telah mengirimkan surat kepada Direktur Rekrimum Polda Metro Jaya yang menjelaskan terkait pelaporan Farid Wajdi ke Polda Metro Jaya adalah sengketa pers dan bukan delik pidana.

Menurut Mahmud, laporan polisi tersebut melanggar fatsun serta prinsip checks and balances dalam bernegara dan dilakukan terhadap lembaga resmi yang berwenang dalam menjalankan tugasnya.

LBH Pers

Bergulirnya kasus dugaan pencemaran nama baik Farid Wajdi, Juru Bicara Komisi Yudisial (KY), terkait pernyataannya sebagai narasumber pemberitaan di Harian Kompas, Rabu (12/9/2018) bertajuk "Hakim di Daerah Keluhkan Iuran" mendapat sorotan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers.

Dalam diskusi publik berjudul "Ancaman Kriminalisasi Narasumber dalam Berita" yang digelar LBH Pers pada Selasa (4/12/2018), Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin mendorong pihak kepolisian membuat gelar perkara ulang terkait kasus kriminalisasi Farid Wajdi yang kini telah memasuki tahap penyidikan.

Hal ini diharapkan mampu menegaskan bahwa kasus Farid bukan wilayah delik di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), melainkan sengketa pers yang diatur dalam UU nomor 40 tahun 1999 tentang pers.

"Jadi dugaan saya polisi masih lurus menggunakan pasal di KUHP, jadi tidak menengok soal UU Pers atau rekomendasi Dewan Pers. Jadi masih percaya diri dengan itu, karena mereka belum sadar ada UU Pers yang melindungi narasumber," ujar Ade.

"Minta gelar perkara ulang, kemudian ditinjau dari aspek-aspek terutama kebebasan pers. Sehingga muncul opini-opini baru yang bisa dijadikan dasar oleh penyidik untuk tidak meneruskan kasus ini," tambahnya.

Selain itu, Ade meminta pihak Harian Kompas ikut aktif berkomunikasi dengan Dewan Pers dan pihak kepolisian untuk mendorong kasus ini sebagai sengketa pers.

Hal senada juga dilontarkan Asnil Bambani, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dalam kesempatan yang sama.

Asnil menilai bila media yang bersangkutan tidak aktif terlibat menjernihkan masalah, kasus ini bisa menjadi preseden buruk yang membuat narasumber takut menyatakan pendapat di media.

"Orang akan takut ngomong ke Kompas. Secara umum juga akan mempengaruhi media-media lainnya. Adapun orang akan takut berbicara di depan umum terutama kepada media," ungkap Asnil.

Sedangkan Roy Thaniago, Direktur organisasi pusat studi media dan komunikasi Remotivi menilai kasus-kasus dilaporkannya unsur pers seperti narasumber, media, ataupun wartawan di ranah pidana merupakan gejala anti intelektualisme.

"Mengenai kriminalisasi narasumber, saya menangkap ini sudah menjadi aspirasi dari kelompok tertentu yang tidak senang dengan sikap kritis publik," ujar Roy.

"Daripada berdialog, kelompok ini lebih suka mengirim orang ke penjara," tambahnya.

Dalam hal ini, pihak Farid Wajdi melalui kuasa hukumnya Mahmud Irsyad Lubis menyatakan hingga kini pihak kepolisian belum melimpahkan kasus ini sebagai sengketa pers.

"Sampai saat ini belum ada jawaban dari Kepolisian kalau ini adalah sengketa pers sebagaimana yang kita dalilkan," ujar Mahmud pada Bisnis, Senin (3/12/2018).

Sebelumnya, Farid dilaporkan oleh 64 hakim Mahkamah Agung (MA) atas dua pernyataannya di media yang dianggap fitnah dan mencemarkan nama baik MA.

Pernyataan Farid terkait iuran pelaksanaan turnamen tenis Piala MA di Bali sebesar Rp150 Juta dari setiap pengadilan, serta adanya setoran Rp200 Juta dari Pengadilan Tingkat Banding untuk menyambut pimpinan MA ketika berkunjung ke daerah.

Atas pernyataan tersebut, Farid dilaporkan dengan dua surat berbeda dengan nomor LP/4965/IX/2018/PMJ/Dit.reskrimum dengan pelapor atas nama Syamsul Maarif dan LP/4965/IX/2018/PMJ/Dit.Reskrimum dengan pelapor atas nama Cicut Sutiarso.

Farid diduga melanggar Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45a ayat 2 dan/atau Pasal 27 ayat 3 juncto Pasal 45 ayat 3, UU no 19 tahun 2016 tentang perubahan UU ITE, serta Pasal 310 dan/atau 311 KUHP tentang menyerang kehormatan dan pencemaran nama baik.

Kasus Hakim vs KY Sebelumnya

Kasus perseteruan Komisi Yudisial dengan hakim bukan terjadi kali ini saja. Hal serupa terjadi saat Hakim Sarpin melaporkan komisioner KT dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Taufiqurrohman diperiksa lantaran hakim Sarpin melaporkannya atas tuduhan pencemaran nama baik. Hakim Sarpin mengabulkan gugatan praperadilan Komisaris Jenderal Budi Gunawan dengan dalih tidak sesuai dengan peraturan. Selain itu, Budi Gunawan dinilai bukan pejabat negara atau aparatur negara.

Tak hanya Taufiqurrohman, Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI juga menetapkan Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki sebagai tersangka kasus pencemaran nama baik hakim Sarpin Rizaldi.

Pada saat itu, Taufiqurrohman dan Suparman menilai Sarpin sebagai hakim yang merusak tatanan hukum karena putusannya dianggap melenceng dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Sebab, saat itu penetapan tersangka tidak masuk dalam obyek praperadilan. Tak senang, Sarpin melaporkan keduanya ke Bareskrim.

Terkait kasus ini, pengacara komisioner Komisi Yudisial Taufiqurrohman Syahuri, Andi Asrun, mengatakan sesuai surat dari Dewan Pers sebagai kliennya hanyalah sengketa pemberitaan.

"Menurut Dewan Pers pokok yang dipermasalahkan pengadu, lebih merupakan sengketa pemberitaan pers. Karena itu, semestinya diselesaikan dengan mekanisma hak jawab atau koreksi," kata Andi Asrun di Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Markas Besar Polisi RI (Mabes Polri), Senin, 28 September 2015.

Surat itu ditulis oleh Dewan Pers pada tanggal 25 Mei 2015 yang ditujukan kepada Komisaris Jenderal Polisi Budi Waseso, Kabareskrim saat itu.

Surat Dewan Pers merespon permintaan Komisi Yudisial RI yang dilayangkan pada tanggal 29 April 2015 tentang permohonan sengketa pers. Surat itu terkait pelaporan hakim Sarpin Rizaldy terhadap pernyataan dua komisioner Komisi Yudisial, Taufiqurrahman dan Suparman Marzuki, yang mengkritik putusan Sarpin mengabulkan gugatan praperadilan Komisaris Jenderal Budi Gunawan.

Dalam surat tersebut, Dewan Pers menyarankan agar penanganan pengaduan hakim Sarpin, merujuk pada nota kesepahaman antara Dewan Pers dengan Kepolisian RI. "Kami akan meng-clear-kan bahwa apa yang dilaporkan ini bukan masalah pidana, ini adalah yang bersangkutan dengan sengketa pemberitaan," kata pengacara Komisi Yudisial, Dedi J. Syamsuddin.

Kini kasus yang mirip sedang berulang, Komisi Yudisial dalam hal ini juru bicaranya dilaporkan hakim ke Polisi karena pernyataannya di media massa. Pihak Farid Wajdi merasa ini bagian dari kriminalisasi, perkara betul atau tidak hal itu terjadi, waktu juga yang akan membuktikannya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper