Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Negara OKI Hadapi Tantangan Besar di Bidang Kesehatan

Menteri Kesehatan Nila F Moeloek menyebut negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) masih menghadapi isu dan tantangan besar dalam kesehatan.
Kepala BPOM RI Penny K. Lukito (depan dua dari kanan) dan Menteri Kesehatan Nila Moeloek (depan dua dari kiri) bersama para delegasi kepala pengawas obat dan makanan negara OKI di Jakarta pada Rabu (21/11).JIBI/BISNIS-Iim Fathimah
Kepala BPOM RI Penny K. Lukito (depan dua dari kanan) dan Menteri Kesehatan Nila Moeloek (depan dua dari kiri) bersama para delegasi kepala pengawas obat dan makanan negara OKI di Jakarta pada Rabu (21/11).JIBI/BISNIS-Iim Fathimah

Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Kesehatan Nila F Moeloek menyebut negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) masih menghadapi isu dan tantangan besar dalam kesehatan.

Tantangan itu, sebut Nila, mencakup masih tingginya beban penyakit, rendahnya kapasitas produksi industri farmasi, dan keterbatasan akses terhadap obat.

"Kita prihatin dengan tingginya angka kematian dan jumlah penduduk sakit di banyak negara OKI. Pada 2015, penyakit menular menjadi penyebab 30% kematian di negara OKI," kata Nila dalam pembukaan pertemuan kepala regulator obat dan makanan negara OKI di Jakarta pada Rabu (21/11/2018).

Berdasarkan laporan kesehatan negara OKI yang dipublikasi Statistical Economic and Social Research and Training Center for Islamic Countries pada 2017, angka tersebut jauh lebih tinggi dibanding rata-rata negara non-OKI sebesar 24% dan dunia yang mencapai 22%.

Nila menambahkan, sejumlah negara OKI juga masih menghadapi epidemi penyakit menular yang sebenarnya bisa dicegah. Hal tersebut tidak terlepas dari faktor rendahnya akses obat-obatan, termasuk vaksin, dan sistem regulasi pengawasan obat yang belum memenuhi standar.

Dalam hal kapabilitas produksi farmasi, negara OKI juga menunjukkan ketergantungan pasar internasional yang besar. Kondisi tersebut terlihat dari peningkatan impor negara OKI terhadap produk farmasi dari US$5,7 miliar pada 2010, menjadi US$ 8,1 miliar pada 2015 atau naik 42%.

Peningkatan kapabilitas regulator obat dan makanan di negara OKI, ungkap Nila, dapat menjadi jalan keluar permasalahan kesehatan yang tengah dihadapi sebagian negara OKI tersebut. Negara OKI dapat memulai peningkatan kapabilitas tersebut dengan akselerasi menuju kemandirian sehingga tidak tergantung dengan regulator internasional seperti WHO.

Sebagai centre of exellence pengawas obat dan makanan yang ditunjuk oleh OKI, Nila juga berharap Indonesia dapat menjadi contoh penyelenggaraan sistem pengawasan obat dan makanan serta mampu membagi pandangan dengan negara OKI lainnya sehingga meningkatkan kemandirian negara OKI.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Nancy Junita

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper