Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ramai Hoaks & Sensasi, Kampanye Pilpres Miskin Substansi

Bisnis.com, JAKARTA -- Suasana kampanye yang sarat hoaks dan sensasi telah menghilangkan fokus rakyat terhadap substansi dan platform dua kandidat pasangan capres-cawapres.
Pasangan calon Presiden Joko Widodo-Maruf Amin (kanan) dan pasangan capres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno berdoa, di sela-sela pengambilan undian nomor urut untuk Pilpres 2019, di kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Jumat (21/9/2018)./JIBI-Dwi Prasetya
Pasangan calon Presiden Joko Widodo-Maruf Amin (kanan) dan pasangan capres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno berdoa, di sela-sela pengambilan undian nomor urut untuk Pilpres 2019, di kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Jumat (21/9/2018)./JIBI-Dwi Prasetya

Bisnis.com, JAKARTA - Suasana kampanye yang sarat hoaks dan sensasi telah menghilangkan fokus rakyat terhadap substansi dan platform dua kandidat pasangan capres-cawapres.

Pengamat politik dari President University, Muhammad AS Hikam mengatakan fenomena penghinaan terhadap masyarakat Boyolali saat kampanye capres Prabowo Subianto adalah contoh hilangnya kesempatan masyarakat melihat substansi politik saat ini.

"Kondisi saat ini tidak ada bahas platform politik dan ekonomi. Post-truth politik ini ketika muncul obrolan ngaco saja jadi fakta alternatif. Ini bukan hanya di Indonesia, dunia mengalami hal yang sama," kata AS Hikam di Megawati Institute dalam acara Diskusi dan Bedah Buku "Islam, Pancasila, dan Deradikalisasi", Senin (5/11/2018).

AS Hikam mengambil contoh dari buku karya Francis Fukuyama bahwa akan ada ideologi baru dalam dunia yang lebih dari liberalisme. Dalam suasana krisis itulah harus ada landasan nasional identitas bangsa.

Alasannya, apapun yang terjadi pasca liberalisme, kapitalisme, sampai era globalisasi ada kekosongan di tengah masyarakat yaitu pengakuan. "Konsisi inilah yang membuat lahirnya anti-kemapanan dan dianggap jadi pilihan. Ada krisis budaya menyebabkan kekosongan," kata AS Hikam.

Dia menekankan kondisi demokrasi di Indonesia saat ini tidak bagus karena berkembang jauh dari kehendak demokrasi. Salah satu contoh kasusnya adalah radikalisasi yang marak atas nama agama.

Alhasil pemerintah perlu menggalang gerakan deradikalisasi. Misalnya saja kasus pembakaran bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Garut, Jawa Barat, oleh Banser Nadhatul Ulama (NU). Kondisi ini berujung dengan Aksi Bela Tauhid pada Jumat, (2/11/2018) lalu.

Berangkat dari hal itu, menurut AS Hikam masyarakat perlu membedakan mana aksi yang manipulatif dan mana aksi yang substantif. Tujuannya agar pemerintah juga bisa menghadang kelompok radikal.

"Kita perlu vaksin, imunisasi terhadap radikalisasi. Statement deradikalisasi ini proses seperti membuat serum dan vaksin bisa mendeteksi gerakan radikal. Salah satunya dengan pendidikan kewarganegaraan," tuturnya.

AS Hikam berpendapat HTI adalah sebuah gerakan politik, bukan hanya sebagai medium dakwah. Oleh sebab itu, seharusnya ada ketegasan dari pemerintah pada gerakan politik yang diduga tidak sepaham dengan Pancasila, sehingga masyarakat bisa berhadapan dengan substansi politik dan bukan pada identitas.

"Yang terjadi sekarang simbol kalimat tauhid seolah anti Jokowi. Maka harus ada solidaritas dari muslim dan nonmuslim kerja sama menghalau radikalisme," tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper