Bisnis.com, JAKARTA – Badan Pengawas Pemilu menilai Undang-Undang No.7/2017 tentang pemilihan umum kurang progresif dibandingkan UU No.10/2016 tentang pemilihan kepala daerah.
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan mengatakan bahwa perbedaan tersebut terlihat jelas dari penanganan masalah politik uang.
“Di Undang-undang No.10/2016 tentang pilkada, pemberi dan penerima masing-masing bisa dihukum. Tapi di Undang-undang No.7/2017 tentang pemilu, hal itu tidak. Yang hanya bisa dikenakan pidana kalau money politics ini hanya penerima,” katanya di gedung Bawaslu, Jakarta, Senin (8/10/2018).
Ketentuan dalam UU No.10/2016 lebih mudah menyasar tindak pidana politik uang, yaitu semua orang yang menerima dan memberi.
Sementara itu, lanjut Abhan, di UU No.7/2017 politik uang dibedakan menjadi tiga fase. Pertama, masa kampanye yang hanya bisa dikenakan kepada tim dan pelaksana kampanye.
Fase kedua yakni masa tenang. Subjek yang bisa dijerat juga sama dengan pertama. Terakhir hari pemungutan. Fase inilah yang bisa ditujukan kepada semua orang.
Pembagian waktu ini membuat Bawaslu sulit bekerja maksimal karena dalam praktek di lapangan, yang beraksi melakukan politik uang bukan hanya tim kampanye saja tapi bisa siapa.
“Memang dia tidak masuk kampanye, tapi secara subtansinya dia punya kepentingan,” ungkapnya.
Meski begitu, UU No.7/2017 tidak membuat Bawaslu pesimistis memberantas politik uang. Abhan yakin cara kotor tersebut bisa ditekan dengan bantuan penyelenggara, peserta pemilu, dan masyarakat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel