Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

China : Tak Ada Negosiasi Jika Trump Terus Mengancam

Pemerintah China menegaskan bahwa pembicaraan untuk menyelesaikan kebuntuan atas perdagangan dengan Amerika Serikat (AS) tidak dapat terjadi selama Presiden Donald Trump terus mengancam akan memberlakukan tarif lebih lanjut.
Wakil Presiden AS Mike Pence melihat Presiden AS Donald Trump berbicara/Reuters
Wakil Presiden AS Mike Pence melihat Presiden AS Donald Trump berbicara/Reuters

Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah China menegaskan bahwa pembicaraan untuk menyelesaikan kebuntuan atas perdagangan dengan Amerika Serikat (AS) tidak dapat terjadi selama Presiden Donald Trump terus mengancam akan memberlakukan tarif lebih lanjut.

Lebih dari satu jam setelah pemerintahan Trump efektif memberlakukan tarif lebih lanjut terhadap barang-barang asal China senilai US$200 miliar pada hari ini, Senin (24/9/2018), Tiongkok menerbitkan sebuah dokumen yang menegaskan posisinya dalam kebuntuan antara kedua negara.

Pembicaraan perdagangan yang sedianya dijadwalkan akan berlangsung pekan ini pun telah dibatalkan.

“Pintu untuk pembicaraan perdagangan selalu terbuka tetapi negosiasi harus diadakan dalam suatu kondisi yang saling menghormati,” menurut dokumen yang diterima Kantor Berita Xinhua, seperti dikutip Bloomberg. “Negosiasi tidak dapat dilakukan di bawah ancaman tarif.”

Putaran terakhir pemberlakuan tarif oleh pemerintah AS berlaku tepat setelah tengah malam waktu Washington pada hari ini (tengah hari waktu Beijing) terhadap daftar produk-produk China mulai dari daging beku hingga komponen televisi.

China telah menyatakan siap membalasnya dengan mengenakan tarif pada barang-barang asal AS senilai US$60 miliar.

Pekan lalu, pemerintah China mengatakan akan mengenakan tarif balasan tersebut mulai hari ini pukul 12.01 waktu setempat. Namun, mengingat hari ini adalah hari libur nasional di Beijing, belum terdengar konfirmasi resmi dari pihak otoritas sejauh ini.

Rencana tarif China tersebut mencakup tarif 5% tambahan pada sekitar 1.600 jenis produk AS, termasuk komputer dan tekstil, serta tarif 10% tambahan pada lebih dari 3.500 item termasuk bahan kimia, daging, gandum, anggur, dan gas alam cair.

Padahal, Trump mengancam akan melemparkan tarif baru terhadap impor tambahan dari China senilai US$267 miliar apabila Tiongkok melakukan retaliasi. Jika Trump serius dengan ancamannya itu, tarif AS akan mencakup semua barang yang diimpornya dari China tahun lalu.

Sejumlah pejabat pemerintah AS telah berulang kali memperingatkan bahwa Trump serius tentang janjinya untuk menyeimbangkan kembali hubungan perdagangannya dengan China dan bahwa pembalasan Tiongkok hanya akan mengarah pada tarif AS lebih lanjut.

Risiko konflik antara dua negara berkekuatan ekonomi terbesar di dunia ini pun meningkat. Sejumlah ekonom telah memperingatkan bahwa perang dagang AS-China dapat menggerogoti ekonomi global serta mengubah rantai pasokan perusahaan-perusahaan multinasional.

Pada Sabtu (22/9), China membatalkan rencana pembicaraan perdagangan dengan sejumlah pejabat AS di tengah eskalasi tensi di antara kedua negara.

Menurut sumber terkait, sanksi Departemen Luar Negeri AS terhadap badan pertahanan China dan direkturnya pada hari Kamis (20/9) berkontribusi terhadap keputusan tersebut. Di sisi lain, ada konsensus yang berkembang di Beijing bahwa pembicaraan substantif AS-China hanya akan mungkin terjadi setelah pemilu paruh waktu  AS pada November.

Bahkan ketika kedua belah pihak saling mengenakan tarif baru pada produk satu sama lain, mereka juga berulang kali menyampaikan pernyataan yang berisikan tawaran berdiskusi.

“Presiden Trump memiliki hubungan yang sangat baik dengan Presiden Xi [Jinping] dan tim kami telah sering berkomunikasi sejak Presiden Trump menjabat,” kata Lindsay Walters, deputi sekretaris pers Gedung Putih, dalam sebuah pernyataan yang dikirim melalui email.

Tak satu pun dari kedua belah pihak yang mengendurkan diri sejak perang tarif dimulai pada bulan Juli, ketika AS memberlakukan bea atas barang-barang Tiongkok senilai US$34 miliar dan menambahnya untuk impor China senilai US$16 miliar pada Agustus.

Langkah ini serta merta direspons dengan cara yang sama oleh Tiongkok.Upaya diplomasi pun sejauh ini gagal dilakukan, tanpa ada terobosan berarti sejak pembicaraan tingkat tinggi dimulai pada bulan Mei. Kondisi ini bisa menjadi semakin buruk, dengan kenaikan tarif  pada barang-barang China senilai US$200 miliar dari 10% menjadi 25% pada Januari tahun depan jika China menolak untuk menawarkan konsesi.

Sejumlah perusahaan telah mengeluhkan bahwa kerangka waktu antara pengumuman dan penerapan tarif terbaru pada ribuan produk terlalu pendek. Perang perdagangan yang berlarut-larut akan memicu inflasi di AS, terutama karena tarif ditambahkan ke kategori seperti furnitur, pakaian, dan teknologi, menurut analis di Bloomberg Intelligence.

“Peritel sudah menghadapi gelombang pasang tarif. Yang terbaru ini adalah tsunami,” kata Hun Quach, wakil presiden perdagangan internasional untuk Asosiasi Pemimpin Industri Ritel. “Dengan ribuan produk konsumen ikut terdampak, sedikit peringatan, dan tidak ada waktu untuk persiapan, bisnis pun bergerak tak tentu arah.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper