Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kasus BLBI, Pengamat: Jangan Malu Bebaskan Syafruddin Jika Terbukti Tak Bersalah

Esensi peradilan bukan sekadar untuk menghukum atau membebaskan orang, melainkan untuk mencari kebenaran. Jadi bila peradilan tidak menemukan bukti bahwa seseorang itu bersalah, jangan ragu untuk membebaskan orang tersebut.
Demo mengingatkan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)./Jibiphoto
Demo mengingatkan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)./Jibiphoto

Bisnis.com, JAKARTA – Esensi peradilan bukan sekadar untuk menghukum atau membebaskan orang, melainkan untuk mencari kebenaran. Jadi bila peradilan tidak menemukan bukti bahwa seseorang itu bersalah, jangan ragu untuk membebaskan orang tersebut.

Pengamat hukum Margarito Kamis mengungkapkan hal tersebut kepada wartawan di Jakarta, Jumat (21/9/2018), ketika dimintai pendapat tentang rencana putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap terdakwa Syafruddin Temenggung dalam perkara penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) yang berkaitan dengan perjanjian Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), pada Senin (24/9/2018) mendatang.

“Jika peradilan menemukan bukti bahwa seseorang yang diadili ternyata tidak terbukti bersalah, ya harus dibebaskan. Jadi, jangan malu untuk membebaskan Syafruddin,” kata Margarito.

Menurut Margarito, sejak awal konstruksi hukum untuk mengadili mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) itu sangat lemah. Sebab, pokok perkara yang dipermasalahkan itu pada dasarnya bersifat perdata, yakni berkaitan dengan perjanjian MSAA antara debitur Sjamsul Nursalim dan pemerintah, bukan pidana.

“Saya menilai sangat sulit untuk menyatakan Syafruddin bersalah karena membuat negara mengalami kerugian,” tandasnya.

Pendapat senada dikemukakan oleh Guru Besar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Mudzakir. Menurut dia, persoalan pokok harus diluruskan terlebih dahulu.

SKL tersebut tidaklah berdiri sendiri, bukan merupakan keputusan Syafruddin seorang, melainkan merupakan rangkaian keputusan yang diambil oleh pejabat-pejabat sebelumnya baik dalam forum Rapat Kabinet maupun Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK).

“Jadi, jika ingin menyelesaikan soal SKL BLBI ini ya kembali pada masalah keperdataan Sjamsul Nursalim. Jika pemerintah tak mau dirugikan, cabut saja SKL, lalu yang bersangkutan diwajibkan membayar utangnya pada negara. Dan tanggung jawab Kementerian Keuangan lah untuk menagih setelah BPPN dibubarkan,” tambahnya.

Berdasarkan catatan fakta persidangan, jaksa KPK menuntut hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan terhadap Syafruddin, karena dianggap memenuhi unsur tindak pidana korupsi seperti tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 jo. UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor.

Dalil jaksa terdakwa melawan hukum yakni UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sementara itu, jaksa tidak dapat membuktikan adanya unsur penerimaan uang (kick back) oleh Syafruddin yang berhubungan dengan penerbitan SKL.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Herdiyan
Editor : Herdiyan

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper