Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

OPINI : Hijrah dari Kejahatan Korupsi

Hijrah menjadi momentum sekaligus pengingat penting untuk sekaligus menegaskan kepada semua orang, terutama para pemimpin dan pejabat negara yang tengah diberi amanat kekuasaan oleh rakyatnya (eksekutif, legislatif, yudikatif), untuk berjihad, memerangi hasrat korupsi, dan berhijrah meninggalkan korupsi dalam bentuk apa pun dan sekecil apa pun.
Gedung KPK./Bisnis-Abdullah Azzam
Gedung KPK./Bisnis-Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA – Tahun baru Islam 1430 Hijriyah kali ini bertepatan dengan tanggal 11 September 2018. Hijrah secara bahasa bermakna ‘berpindah dari sesuatu ke sesuatu yang lain’ atau ‘menjauhi sesuatu’.

Dalam sejarah Islam, Nabi disebutkan berhijrah atau pindah dari Mekkah ke Madinah demi menghindari kejahatan atau keburukan dari kaum Quraisy untuk memulai kehidupan baru.

Nabi juga pernah mengatakan bahwa orang yang berhijrah adalah orang yang menjauhi apa yang dilarang Allah, yakni perbuatan jahat, buruk dan tercela, kemudian beralih pada perbuatan baik dan mulia.

Lebih dari sekadar merayakan pergantian tahun dalam bentuk seremonial, hijrah sesungguhnya membawa pesan perubahan. Nabi pindah ke Madinah sejatinya membawa harapan perubahan yang ketika di Mekkah sulit dilakukan, karena tekanan, teror dan intimidasi yang dilakukan terhadap Nabi dan kaum muslim.

Faktanya, ketika di Madinah, perubahan itu berhasil dilakukan secara gemilang dalam tempo lebih kurang sepuluh tahun. Mekkah tak lagi kondusif sehingga perlu mencari lokasi baru untuk menyemai perubahan kepada kehidupan yang lebih baik, dan itu membawa hasil.

Hijrah Nabi dari Mekah ke Madinah merupakan simbol yang menyiratkan harapan pada perubahan dari kondisi buruk kepada kondisi baik itu. Dalam konteks saat ini, semangat untuk perubahan tadi penting tidak hanya ditanamkan dalam pikiran, tetapi juga dalam tindakan nyata.

Korupsi, misalnya, merupakan problem besar yang hingga kini terus coba diberantas melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, semakin gencar upaya ini, semakin keras juga perlawanan baliknya, dan semakin tidak jera atau takut para koruptor melakukan aksinya. Juga semakin banyak pihak yang ingin melemahkan, bahkan menghancurkan KPK.

Korupsi di negeri ini masih marak. Ini misalnya tampak dari banyaknya Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK. Teranyar, OTT KPK terhadap 41 anggota DPRD Kota Malang beberapa waktu lalu yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka.

Menurut agama, korupsi sesungguhnya berakar dari hasrat manusia yang tidak pernah puas dengan apa yang telah dimiliki. Dalam istilah Nabi, mereka itu seperti orang yang makan tetapi tidak pernah kenyang. Jika mereka diberi satu lembah berisi emas, mereka akan meminta lembah lain berisi emas juga. Jika telah diberi, dia akan meminta lembah berisi emas lainnya lagi. Begitu seterusnya tanpa pernah berakhir.

Kata Nabi, hanya kematian yang mampu menghentikannya. Inilah hasrat korupsi yang terus-menerus terproduksi, bagian dari budaya konsumerisme.

Yasraf Amir Piliang dalam bukunya Bayang-bayang Tuhan, Agama dan Imajinasi (2011), menyebutkan hakikat dari budaya konsumerisme adalah memuati kegiatan konsumsi dengan makna-makna simbolik tersendiri (prestise, status, kelas) dan dengan pola dan tempo pengaturan yang khas.

Budaya Konsumerisme

Budaya konsumerisme adalah sebuah budaya konsumsi yang ditopang oleh proses penciptaan diferensi secara terus-menerus lewat penggunaan objek-objek komoditas, sebuah budaya belanja yang proses perubahan dan perkembangbiakannya didorong oleh logika hasrat dan keinginan ketimbang logika kebutuhan.

Budaya konsumerisme adalah sebuah sistem self-production hasrat tanpa henti, pemenuhannya selalu melalui media komoditas.

Dunia konsumerisme adalah sebuah medan tempat pelepasan hasrat manusia konsumen, yaitu hasrat akan objek-objek dan kesenangan tanpa akhir, di dalamnya para konsumen dikonstruksi kehidupan sosialnya, sehingga ia mengikuti arus hasrat yang mengalir tanpa henti.

Di dalam medan pelepasan hasrat itu, setiap orang dikonstruksi untuk dapat mengikuti arus produksi dan reproduksi hasrat yang tanpa henti dengan mengonsumsi tanda, citra, dan objek-objek yang diperbarui penampilannya secara terus-menerus.

Dengan terus-menerus mengonsumsi, setiap orang dengan tanpa jeda pula memproduksi hasrat dan ketidakpuasan abadi (J.F. Lyotard, Libidal Economy, 1993).

Budaya korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang lahir antara lain karena hasrat konsumerisme, terutama konsumsi harta (modal/kapital) dan kekuasaan (politik), dalam perspektif teologis, adalah sebuah dosa besar.

Dosa besar, baik terhadap individu bersangkutan, masyarakat maupun Tuhan. Dengan kata lain, korupsi adalah dosa sosial sekaligus spiritual. Korupsi adalah kezaliman tak terperi, karena mengambil hak orang lain untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, sehingga orang yang diambil haknya itu—baik secara tersembunyi maupun terang-terangan—mengalami kerugian, tidak hanya material tetapi juga nonmaterial.

Uang negara yang seharusnya untuk kepentingan rakyat dikorupsi atau dicuri, sehingga kesejahteraan yang diharapkan tak kunjung terwujud.

Ketika Nabi selesai membebaskan Mekah (Fathu Mekah) pada 8 H, beliau mengatakan kita telah selesai dari jihad kecil menuju jihad besar, yakni memerangi hawa nafsu (hasrat negatif). Jihad terbesar saat ini adalah memerangi hasrat korupsi dalam diri yang terus-menerus bergelora dan membuncah.

Apalagi, berdasarkan riset Transparancy International (TI) 2016, skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 37, naik 1 poin dari tahun sebelumnya 36. Indonesia berada di peringkat 90 dari 176 negara yang disurvei. Untuk wilayah Asia Tenggara (Asean), IPK Indonesia berada di peringkat ke-4.

Negara dengan IPK tertinggi di kawasan ini adalah Singapura dengan skor 84, dan berada di posisi 7 dunia. Kemudian, diikuti Brunei Darussalam diperingkat dua dengan skor IPK 58, lalu Malaysia diperingkat 3 dengan nilai 49.

Perang terhadap hasrat korupsi ini juga disertai keinginan dan komitmen kuat untuk berhijrah, mengubah hasrat negatif itu menjadi hasrat positif, hasrat untuk menjauhi kejahatan korupsi. Kata Nabi, orang yang berhijrah itu adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang Allah. Allah melarang manusia menzalimi hak orang lain. Allah juga melarang manusia mengambil hak orang lain, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Nabi bahkan dengan tegas mengatakan, jika Fatimah putri beliau mencuri, beliau sendiri—dalam kapasitasnya sebagai pemimpin keluarga (ayah, suami), pemimpin agama, pemimpin politik, pemimpin militer, pemimpin hukum—yang akan memotong tangannya.

Hijrah menjadi momentum sekaligus pengingat penting untuk sekaligus menegaskan kepada semua orang, terutama para pemimpin dan pejabat negara yang tengah diberi amanat kekuasaan oleh rakyatnya (eksekutif, legislatif, yudikatif), untuk berjihad, memerangi hasrat korupsi, dan berhijrah meninggalkan korupsi dalam bentuk apa pun dan sekecil apa pun.

Lebih dari itu, mendukung penuh upaya-upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga seperti KPK. KPK menjadi medium atau wasilah yang menarik gerbong negara ini untuk berhijrah atau berubah ke arah lebih baik, dari Indonesia sebagai negara korup menjadi negara yang bersih dari korupsi.

Karena itu, KPK perlu diperkuat, bukan diperlemah apalagi diamputasi atau dibekukan hingga mati pelan-pelan.

*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Rabu (12/9/2018)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper