Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Aturan Kampanye Lemah, Isu SARA Tetap Marak di Pilpres 2019

Politisasi suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) diperkirakan akan tetap marak pada Pilpres 2019 karena definisi tersebut tidak rinci dalam aturan berkampanye.
Dua pasangan calon presiden dan wakil presiden di Pilpres 2019/Bisnis
Dua pasangan calon presiden dan wakil presiden di Pilpres 2019/Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA - Politisasi suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) diperkirakan akan tetap marak pada Pilpres 2019 karena definisi tersebut tidak rinci dalam aturan berkampanye.

 Demikian disimpulkan dalam diskusi bertajuk “Sara dan Kebhinekaan dalam Kampanye Pilpres” di Gedung DPR, Jumat (7/9/2018).

 Turut menjadi nara sumber dalam diskusi itu Anggota DPR dari Fraksi PPP Syaifullah Tamliha dan pengamat politik dari Lingkar Madani, Ray Rangkuti.

Menurut Ray Rangkuti, dalam aturan kampanye yang diatur Komisi Pemilihan Umum (KPU) hanya disebutkan tidak boleh mengandung unsur SARA. Akan tetapi, apa yang dimaksud dengan mengandung unsur SARA tersebut tidak jelas, ujarnya.

Kalau penggunaan isu SARA digunakan untuk menafikan eksistensi atau hak seseorang untuk memilih atau dipilih maka hal itu jelas merupakan pelanggaran karena semua warga memiliki hak yang sama untuk dipilih maupun memilih. 

“Kalau ada imbauan untuk tidak memilih seorang calon anggota legiaslatif atau calon presiden yang bukan seagama, misalnya, maka apakah hal itu dianggap pelanggaran?,” ujar Ray.

Dia berpendapat seharusnya kalau ada yang mengkampanyekan demikian maka hal itu seharusnya bisa ditindak karena bersifat memengaruhi orang. Karena tulah perlu aturan yang jelas dalam berkampanye.

Selain tidak ada definisi yang jelas, hukuman terhadap pelaku politisisasi SARA juga sangat ringan atau paling lama hanya satu tahun. Sedangkan kalau di luar masa kampanye, hukuman karena memamfaatka isu SARA bisa mencapai lima tahun berdasarkan KUHP.

“Kalau begitu banyak-banyaklah menggunaan isu SARA dalam berkampanye,” ujarnya sambil bercanda sekaligus mengeritik aturan yang tidak jelas tersebut.

Sementara itu, Syaifullah Tamliha mengatakan penggunaan isu SARA juga terjadi di luar negeri seperti di Amerika Serikat. Saat memantau pemilu presiden AS, Tamliha mengatakan para pendeta di sana juga melakukan gerakan massal untuk memberikan dukungan kepada Donald Trump. 

Pasalnya, Capres Hillary Clinton waktu itu mengkampanyekan kawin sesama jenis yang dianggap kalangan Kristen sebuah pelanggaran agama. Hanya saja memang politisi SARA jarang terjadi di negara tersebut kecuali pada Pilpres terakhir yang memnangkan donald Trump dari kubu Partai Republik.

“Jadi isu SARA tidak akan bisa dihindari karena adanya persaingan politik termasuk di Indonesia,” ujarnya. 

Dia menambahkan politisasi isu kelompok pendukung milennial bahkan juga bisa dikategorikan SARA karena menyangkut soal golongan. 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Nancy Junita

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper