Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

KASUS BLBI: Penghapusan Utang Diputuskan di Ratas Kabinet

Penghapusan utang petambak kepada Bank Dagang Negara Indonesia diusulkan oleh aparat keamanan.
Mantan Wakil Presiden Boediono memberikan keterangan saat menjadi saksi dalam sidang kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas BLBI dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Tumenggung di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (19/7/2018)./ANTARA-Hafidz Mubarak A
Mantan Wakil Presiden Boediono memberikan keterangan saat menjadi saksi dalam sidang kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas BLBI dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Tumenggung di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (19/7/2018)./ANTARA-Hafidz Mubarak A

Bisnis.com, JAKARTA - Penghapusan utang petambak kepada Bank Dagang Negara Indonesia diusulkan oleh aparat keamanan.

Mantan Sekretaris Kabinet Bambang Kesowo yang dihadirkan sebagai saksi dalam sidang lanjutan perkara korupsi penerbitan surat keterangan lunas (SKL) BLBI, Kamis (16/8/2018) mengakui penghapusan utang petani tambak utang di bank beku operasi (BBO) Bank BDNI diambil pada saat sidang kabinet terbatas 11 Februari 2004 yang dipimpin Presiden Megawati Soekarnoputri.

Namun menurut dia, sidang itu diagendakan bukan atas permintaan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dan bukan dalam rangka penyelesaian kewajiban BLBI BDNI, tapi atas usulan aparat keamanan sebagai antisipasi untuk menjaga tidak meluasnya gejolak sosial saat itu.

“Perlu saya tekankan, rapat terbatas saat itu diagenda bukan atas usulan KKSK, tapi oleh aparat keamanan dan intelijen,” katanya di hadapan majelis hakim yang dipimpin oleh Yanto.

Dalam penjelasannya, Bambang mengatakan, pada saat itu petani tambak sedang mengalami kesulitan karena devaluasi rupiah yang membuat utang membengkak dan ditambah suku bunga yang amat tinggi terus berjalan, sehingga mereka tidak mampu membayar kewajiban cicilan kredit mereka ke bank.

Inilah yang membuat pertani resah hingga menimbulkan kerusuhan sosial ekonomi dan dikhawatirkan berpotensi kerusuhan menjadi semakin meluas ditengah krisis saat itu. Atas pertimbangan itulah, kemudian aparat keamanan meminta ada sidang kabinet untuk membahas masalah kredit petani tambak ini.

“Jadi rapat itu tidak ada kaitannya dengan peneyelesaian BLBI, tapi lebih pada kepentingan dan pertimbangan keamanan," ujar dia.

Berkaitan dengan hal tersebut, dalam rapat itu dibahas jalan keluar untuk mengatasi masalah utang sekitar lebih dari 11.000 orang petani tambak ini. Disadari, bahwa beban petani sudah sangat berat, maka untuk itu dicarikan jalan keluar untuk mengurangi bebannya.

Caranya adalah dengan menghapusbukukan sebagian kewajiban utang petani tersebut, sehingga kewajibannya pada saat itu dari Rp3,9 triliun menjadi Rp1,1 triliun atau masing-masing menjadi Rp100 juta per orang.

Menurut Bambang, sesuai dengan kewenangannya, BPPN sebagai badan khusus bisa langsung melakukan write off aset-aset atau kredit bank yang telah dilimpahkannya kepada lembaga itu yaitu bank beku operasi (BBO), bank take over (BTO) dan bank dalam likuidasi. Namun dalam hal petani tambak ini, keputusan write off diambil dalam sidang kabinet, antara lain karena didasari kebutuhan menghindari gejolak sosial yang lebih luas.

Menjawab pertanyaan penasehat hukum terdakwa Syafruddin Temenggung, Yusril Ihza Mahendra tentang apakah Presiden Megawati pada saat itu menyetujui keputusan write off utang petani tambak ini, dia mengatakan, dalam pemahamannya yang hadir dalam rapat itu, presiden menyetujui.

“Pada saat itu, Presiden Megawati melontarkan kalimat silakan dilanjutkan dan menurut saya itu adalah satu persetujuan,” kata Bambang.

Dia juga menegaskan bahwa kehadiran BPPN, perjanjian MSAA dan berbagai tindakan yang diambil didasarkan kesadaran pemerintah saat itu bahwa berbagai instrumen keuangan yang telah digunakan tidak mampu mengatasi krisis keuangan 1997-1998, sehingga untuk itu diperlukan satu kebijakan yang pamungkas yaitu mengeluarkan kebijakan blanket guarantee terhadap semua dana masyarakat di perbankan, mendirikan badan khusus yaitu BPPN dan melakukan perjanjian penyelesaian kewajiban BLBI dengan pemilik bank dengan skema out of court settlement melalui perjanjian yang dikenal Master Setellement and Acquisition Agreement (MSSA).

Di antara pemilik bank yang menandatangani MSAA adalah Anthony Salim (Bank BCA), Sjamsul Nursalim (BDNI), Bob Hasan (BUN), Sudwikatmono (Bank Surya), Ibrahim Risjad (RSI).

“Desain kebijakannya memang begitu, karena inilah yang dinilai bisa menjadi senjata pamungkas dalam menangani krisis ekonomi saat itu agar tidak semakin dalam,” pungkasnya.

Seperti diketahui mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung diajujan ke meja hijau karena dianggap melakukan sesuatu yang melampaui kewenangsnnya yakni menerbitka SKL kepada Sjamsul Nursalim, pemegang saham mayoritas BDNI, salah satu bank yang menerima BLBI.

Menurut KPK, penerbitan SKL itu mengakibatkan negara kehilangan hak tagih sebesarRp4,8 triliun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper