Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

KASUS BLBI, Yusril: Syafruddin Temenggung Seharusnya Dapat Apresiasi

Yusril Ihza Mahendra, salah satu kuasa hukum Syafruddin Arsyad Temenggung, mengatakan bahwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional itu seharusnya mendapatkan apresiasi karena berhasil menyehatkan perbankan nasional.
Yusril Ihza Mahendra/Antara
Yusril Ihza Mahendra/Antara

Bisnis.com, JAKARTA – Yusril Ihza Mahendra, salah satu kuasa hukum Syafruddin Arsyad Temenggung, mengatakan bahwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional itu seharusnya mendapatkan apresiasi karena berhasil menyehatkan perbankan nasional.

Hal itu diungkapkan Yusril dalam sidang lanjutan perkara korupsi penerbitan surat keterangan lunas (SKL) kepada pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim, dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung, Senin (13/8/2018).

Sidang tersebut menghadirkan saksi ahli, yakni bankir senior yang juga mantan Ketua Perbanas Sigit Pramono.

Yusril menegaskan bahwa sesuai dengan keterangan saksi ahli, belum terjadi kerugian negara. "Ketika diserahkan utang itu dalam bentuk hak tagih, itu yang ada baru potensial loss. Jadi potensi rugi negara, belum terjadi kerugian," ujarnya.

Kapan kerugian itu terjadi, lanjut Yusril, sesuai dengan keterangan ahli, bahwa saat aset itu dijual oleh PT PPA kepada pihak lain dari semula hak tagihnya Rp 4,8 triliun, dijual hanya sebesar Rp 220 miliar.

"Dalam hal ini, hak tagihnya Rp4,8 triliun dijual Rp 220 miliar, maka kerugian negaranya menjadi Rp4,58 triliun. Jadi, dari pertanggungjawaban perbankan itu tanggung jawab siapa, itu tanggung jawab yang menjual. Jadi sebenarnya tidak ada kesalahan yang harus dibebankan kepada Syafruddin," ujarnya. 

Sesuai dengan keterangan saksi ahli juga, lanjut Yusril, bahwa orang seperti Syafruddin Arsyad Temenggung seharusnya mendapat apresiasi karena berhasil menyehatkan perbankan nasional dan bisa merampungkan kekisruhan.

Menurut dia, BPPN di era Syafruddin Arsyad Temenggung lah yang menyelesaikan tugasnya. “Bukan seharusnya malah mendapat hukuman. Mestinya orang-orang seperti Syafruddin ini diberikan penghargaan karena setelah terjadi krisis ini beliau tangani perbankan itu pulih dan perbankan kita sehat kembali. Ekonomi kita ya alhamdulillah baik lagi walaupun beberapa bulan terakhir susah lagi. Bukannya dihukum orang seperti Syafruddin ini," ujarnya. 

PENGHAPUSBUKUAN

Dalam kesaksiannya, Sigit Pramono menjelaskan bahwa dalam praktik perbankan penghapusbukuan tidak bisa langsung dianggap sebagai bentuk kerugian.

Pasalnya, penghapusbukuan sama sekali tidak menghapuskan hak tagih. Menurut dia, kerugian baru terjadi jika hak tagihnya yang dihapus.

“Penghapusbukuan hanya menghapus kredit dari catatan akutansi. Karena itu dampaknya baru sebatas potensial lost, belum realized cost atau kerugian yang direalisasi,” katanya sebagai saksi ahli dalam sidang terdakwa mantan Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (13/8/2018).

Sigit menegaskan hal itu menjawab pertanyaan pengacara Syafruddin Arsyad Temenggung, yakni  Yusril Ihza Mahendara, mengenai apakah perbedaan antara penghapusan bukuan dengan penghapusan hak tagih.

Pertanyaan ini terkait dengan dakwaan Jaksa Tipikor kepada terdakwa bahwa sebagai Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) telah merugikan negara sebesar Rp 4,8 triliun karena telah mengusulkan kepada KKSK untuk menghapus bukukan kredit petani tambak di bank beku operasi (BBO) Bank BDNI.  Keputusan penghapusan bukuan utang petambak tersebut diputuskan oleh Rapat KKSK pada 13 Februari 2004. 

Menurut Sigit, konsekuensi penghapusanbukuan hanya tidak ditampilkannya kredit laporan keuangan, dan sifatnya masih potential loss karena hak tagih BPPN terhadap kredit tersebut masih ada.

Hak tagih inilah yang pada saat penutupan BPPN pada 2004, dialihkan ke PT (Persero) Perusahaan Pengelola Aset (PAA) yang menampung semua aset BPPN.

Dalam kesaksiannya, Sigit juga mengatakan, apa yang dilakukan Syafruddin Arsyad Temenggung adalah langkah penyelesaian restrukturisasi perbankan yang menjadi tanggung jawab BPPN, dan belum terselesaikan oleh Ketua BPPN sebelumnya.

“Seingat saya, proses restrukturisasi perbankan semasa SAT berjalan sesuai prosedur dan lancar, dibandingkan periode sebelumnya. Dengan tuntasnya restrukturisasi itulah, Indonesia kini mempunyai sektor perbankan yang kuat, sehingga seharusnya SAT perlu diganjar dengan penghargaan,” kata Sigit.

Di hadapan majelis hakim, Sigit juga menerangkan bahwa BPPN bukan lembaga mengejar untung atau rugi atas dana BLBI yang sudah disalurkan sebagai bantuan dana likuditas pada krisis dahsyat beberapa waktu lalu.

"Jadi bagi BPPN, ukuran kinerja yang terpenting adalah bagaimana dia bisa sehatkan perbankan. Kedua, adalah recovery rate, mereka tidak diukur untung rugi di situ karena ini bukan lembaga yang mencari untung dan tidak bisa rugi," ujarnya.

Sigit juga menceritakan bahwa kondisi NPL saat itu juga sangat berbahaya karena sudah mencapai 30%.

"NPL juga sangat tinggi secara nasional lebih 30%. Maksimum NPL 5% untuk bank sehat. Ini dua indikator saja, semua bank di Indonesia tidak ada yang sehat, itulah situasi perbankan pada saat itu," ujarnya.

Karena tingginya kurs dolar yakni dari Rp2.500 menjadi Rp16.000 lebih, maka tidak mungkin nasabah atau siapapun mampu membayar utang yang langsung menggelembung. "Pasti tidak bisa ditagih karena dolar naik, maka itu yakin tidak bisa ditagih," katanya.

Seperti diketahui, Syafruddin Arsyad Temenggung disidangkan dengan dakwaan telah menyebabkan kerugian kepada negara sebesar Rp4,58 triliun ketika dia sebagai Ketua BPPN.   

Kerugian ini disebabkan Syafruddin Arsyad Temenggung telah mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL) pada 2004 kepada Sjamsul Nursalim, mantan pemegang saham pengendali Bank BDNI. 

Padahal, menurut KPK, Sjamsul Nursalim belum berhak menerima SKL karena persoalan kredit bank kepada 11.000 petambak udang yang menjadi plasma perusahaan  PT Dipasena Citra Darmaja belum diselesaikan.

Pemberian SKL ini telah membuat pemerintah kehilangan hak tagih.  Kredit tersebut disalurkan pada saat sebelum krisis ekonomi 1997-1998  dalam bentuk valas senilai US$ 390 juta atau setara Rp 1,3 triliun pada kurs saat itu. Ketika kurs rupiah anjlok pada saat krisis, nilai utang petambak tersebut membengkak menjadi Rp 4,8 triliun sehingga mereka kesulitan untuk membayar sehingga kredit menjadi macet. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Nurbaiti
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper