Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

OPINI: Rematch Pilpres 2019, Berkuda atau Naik Sepeda

Pilpres kali ini, menurut dia, pilihannya hanya dua: berkuda atau naik sepeda. Berkuda merujuk pada Prabowo, yang memang hobi berkuda, sementara bersepeda mengacu kepada Jokowi yang sering membagikan hadiah sepeda.
Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menunggang kuda di sela-sela pertemuan di Hambalang, Bogor, Senin (31/10)./Antara-Puspa Perwitasari
Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menunggang kuda di sela-sela pertemuan di Hambalang, Bogor, Senin (31/10)./Antara-Puspa Perwitasari

Bisnis.com, JAKARTA – Tanding ulang (rematch) Joko Widodo alias Jokowi melawan Prabowo Subianto tinggal selangkah lagi bakal menjadi kenyataan. Hingga pembukaan pendaftaran pasangan calon presiden dan calon wakil presiden di Komisi Pemilihan Umum pada 4 Agustus lalu, sama sekali tak ada gelagat bakal munculnya poros ketiga untuk menyodorkan nama kandidat lain di luar Jokowi dan Prabowo.

Ini berarti nama-nama alternatif yang sempat menyeruak dan digadang-gadang berpotensi menantang petahana (Jokowi) seperti Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan atau mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo tampaknya nyaris muskil untuk mendapatkan tiket capres pada perhelatan Pilpres 2019 mendatang.

Dengan penutupan pendaftaran pasangan capres-cawapres per 10 Agustus ini, membayangkan terbentuknya poros ketiga rasanya seperti mimpi di siang bolong. Menunggu ‘bola muntah’ pun kecil kemungkinan terjadi, apalagi bagi figur nonpartai politik yang miskin dukungan logistik.

Alih-alih ada indikasi terbentuknya poros ketiga, bahkan urusan cawapres bagi Jokowi atau Prabowo pun hingga kini (tulisan ini diturunkan) masih ‘muter-muter’ dan menjadi bahan kasak-kusuk antarelite partai politik. Belum ada nama definitif yang dipublikasi.

Cawapres

Alotnya penentuan nama cawapres, baik untuk Jokowi maupun Prabowo mengisyaratkan satu hal, betapa strategisnya nama cawapres, entah bagi sosok yang mendapatkannya maupun untuk mendongkrak elektabilitas sang capres sendiri.

Bahkan saling intip kandidat cawapres lawan agaknya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari strategi awal untuk pemenangan kontestasi kali ini. Tak heran jika baik kubu Jokowi maupun Prabowo seolah hendak memaksimalkan ‘permainan’ di injury time jelang penutupan pendaftaran di KPU.

Harus diakui, kubu koalisi partai pendukung Jokowi tampak dan terkesan lebih adem, dan nyaris tanpa pergulatan berarti dalam penentuan sosok cawapres. Hal yang sempat menonjol hanyalah manuver Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, yang secara terbuka menyatakan hasrat dan minatnya untuk menjadi cawapres pendamping Jokowi.

Namun, seiring waktu, Muhaimin dan PKB pun akhirnya legowo dan menyerahkan ihwal penentuan sosok cawapres kepada Jokowi sendiri.

Dengan koalisi enam partai politik pemilik lebih 60% kursi di DPR (PDIP, Partai Golkar, Partai Nasdem, Partai Hanura, PKB, dan Partai Persatuan Pembangunan), Jokowi tentu saja patut lebih percaya diri dalam melakukan negosiasi parsial dengan elite partai pendukungnya, bahkan dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sekalipun.

Sejauh ini, yang terungkap ke permukaan adalah: nama kandidat cawapres sudah dikantongi Jokowi, dan tinggal menunggu momentum tepat untuk mengumumkannya, entah bersamaan dengan hari terakhir pendaftaran di KPU atau sebelumnya. Sekjen PDIP Hasto Kristianto pun hanya memberi clue atau petunjuk singkat bahwa nama cawapres Jokowi akan menggemparkan. Selebihnya hanya menyisakan spekulasi.

Di kubu koalisi pendukung Prabowo, suasana jauh lebih seru, dan tarik-menarik penentuan nama cawapres begitu terasa. Di antara elite partai-partai pendukung Prabowo, disebutkan terjadi negosiasi yang ketat, terutama sejak Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono secara resmi menyatakan dukungan kepada pencapresan Prabowo untuk Pilpres 2019.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sejak Pilpres 2014 setia mendukung Prabowo tampak masygul dengan kehadiran Partai Demokrat dalam barisan pendukung Prabowo. Dengan kekuatan 10,9% kursi di DPR, tentu saja daya tawar Partai Demokrat jauh lebih kuat dibandingkan PKS (7,1%), dan juga Partai Amanat Nasional (8,6%) sekalipun yang juga berlabuh ke koalisi pendukung Prabowo.

Di satu sisi, PKS merasa bahwa sudah sepatutnya cawapres bagi Prabowo adalah kadernya, mengingat sejak kekalahan Prabowo pada Pilpres 2014, PKS begitu setia bersama Gerindra (13%) menjadi kekuatan oposisi. Terkait hal itu, ada serpihan pernyataan petinggi PKS bahwa mungkin saja PKS abstain di Pilpres 2019, alias tidak mendukung capres siapapun, seandainya kadernya tidak menjadi cawapres bagi Prabowo.

Sementara SBY secara terbuka menyerahkan penentuan nama cawapres kepada Prabowo. Namun pernyataan SBY ini justru menimbulkan aneka spekulasi. Seperti diketahui, di internal Partai Demokrat, nama Ketua Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat Agus Harymurti Yudhoyono (AHY) dielukan sebagai kandidat cawapres untuk Prabowo.

Dengan demikian, diprediksi kalau AHY tidak dijadikan cawapres, maka SBY dan Partai Demokrat tidak akan memberikan support serius dalam kampanye untuk pemenangan Prabowo.

Belum lagi adanya Ijtima Ulama yang merekomendasikan dua nama untuk dipilih menjadi cawapres Prabowo, yaitu Ketua Dewan Syuro PKS Salim Segaf Aljufri dan Ustad Abdul Somad. Hasil Ijtima Ulama yang ‘dikomandani’ Habib Rizieq Syihab itu niscaya menjadi masukan tersendiri bagi koalisi pendukung Prabowo.

Tentu saja segala dinamika dan riak-riak dalam negosiasi politik, baik di kubu Jokowi maupun kubu Prabowo, akan dengan sendirinya mesti disudahi seiring dengan jatuh tempo pendaftaran capres-cawapres pada 10 Agustus 2018. Keputusan politik harus diambil meski menyisakan ketidakpuasan.

Melihat ademnya kubu Jokowi, rasanya negosiasi di antara seluruh elemen utama yang terlibat boleh dikatakan sudah mencapai titik temu, tentu saja termasuk formula pembagian kursi di kabinet, dan aneka konsesi yang merupakan kelaziman praktik koalisi.

Tinggal di kubu Prabowo, akankah berhasil mencapai titik temu serupa, tanpa harus ada partai yang akhirnya benar-benar abstain atau bahkan menyeberang ke kubu Jokowi.

Rachland Nashidik, Wakil Sekjen Partai Demokrat, memberi perumpaman menarik untuk Pilpres 2019. Pilpres kali ini, menurut dia, pilihannya hanya dua: berkuda atau naik sepeda. Berkuda merujuk pada Prabowo, yang memang hobi berkuda, sementara bersepeda mengacu kepada Jokowi yang sering membagikan hadiah sepeda.

Ya, berkuda atau naik sepeda....

*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Kamis (9/9/2018)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper