Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kideco Nilai BKPM Langgar Regulasi Soal Penerbitan IPPKH

PT Kideco Jaya Agung menilai penerbitan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) kepada perusahaan itu dilakukan tanpa melalui prosedur yang tepat.

Bisnis.com, JAKARTA – PT Kideco Jaya Agung menilai penerbitan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) kepada perusahaan itu dilakukan tanpa melalui prosedur yang tepat.

Arfidea Saraswati, kuasa hukum PT Kideco Jaya Agung mengatakan bahwa perusahaan itu telah melakukan penambangan batu bara pada kawasan hutan sejak 1 September 1992.

“Penambangan di kawasan itu berdasarkan perjanjian pinjam pakai kawasan hutan [PPPKH] No. 005/KWL/PTGH-3/1992 yang kemudian diubah dan dinyatakan kembali melalui PPPKH No. 3139/KWL/PTGII-3/1998-299/KJA-Adm/VII pada 12 Agustus 1998,” ujarnya sebelum persidangan dengan agenda pembacaan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara, Senin (6/8).

Menurutnya, jangka waktu PPKH tersebut adalah 30 tahun terhitung sejak 1 September 1992 sampai dengan 1 September 2022. Akan tetapi, tanpa permohonan apapun dari Kideco Jaya Agung, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menerbitkan IPPKH pada 2 April 2018.

Itu artinya, jelasnya, membatalkan secara sepihak PPPKH yang dikantongi Kideco.

Dia menguraikan, penerbitan IPPKH tersebut bertentangan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) No. 24/2010 yang kemudian diubah dalam PP No. 61/2012 dan PP No. 105/2015 tentang Penggunaan Kawasan Hutan.

Selain itu, penerbitan IPPKH pun dianggap bertentangan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 50/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2016 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.

Semua aturan itu menyatakan bahwa PPPKH yang masih berlaku akan tetap diakui sampai jangka waktu dalam PPPKH berakhir dan bahwa IPPKH hanya dapat diberikan berdasarkan permohonan.

Menurut dia, penerbitan IPPKH oleh BKPM menimbulkan suatu ketidakpastian hukum bagi Kideco dalam menjalankan kegiatan usaha karena perusahaan itu dilarang melakukan kegiatan sebelum memperoleh penetapan batas areal kerja kecuali untuk melakukan kegiatan tata batas, membuat kegiatan persiapan pembangunan basecamp sementara atau pengukuran sarana prasarana.

Ketidakpastian hukum bagi kegiatan operasi Kideco, tuturnya, akan berdampak luas mengingat perusahaan itu merupakan salah satu penyedia batu bara nasional, yang wajib menyetorkan 25% produksi sebagai alokasi kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) yang sebagian besar diperuntukkan bagi pembangkit listrik.

Berdasarkan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B), Kideco juga memiliki kewajiban membayarkan penerimaan negara bukan pajak dalam bentuk royalti sebesar 13,5% dari hasil produksi batu bara dan dikenakan pula pajak penghasilan sebesar 45%.

Dengan melandaskan pada fakfa-fakta tersebut, paparnya, Kideco meminta pembatalan IPPKH karena bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yakni izin itu dikeluarkan tanpa adanya permohonan dari penggugat dan membatalkan PPPKH secara melawan hukum.

Dalam gugatan itu pula, Kideco pun mengajukan permohonan agar pelaksanaan IPPKH tersebut ditunda sampai dengan proses pemeriksaan perkara dengan nomor register 156/G/2018/PTUN.JKT telah diputus oleh PTUN dan berkekuatan hukum tetap.

Dayan Hadipranowo, Direktur PT Kideco Jaya Agung mengatakan, pihaknya telah berusaha melakukan klarifikasi ke BKPM maupun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tetapi belum mendapatkan jawaban yang memuaskan.

Guna menjaga kepastian hukum untuk kegiatan usaha, katanya, Kideco tidak memiliki pilihan selain mengajukan gugatan ke PTUN. Hal ini dilakukan karena upaya hukum melalui PTUN dibatasi hanya 90 hari sejak diterimanya IPPKH.

Artinya, jika masa itu lewat maka pihaknya tidak bisa menggugat ke PTUN dan Kideco tidak memiliki pilihan hukum lainnya.

Pada persidangan, selain mengagendakan pembacaan gugatan, majelis hakim yang dipimpin oleh Nasrifal juga menjadwalkan pembacaan jawaban BKPM selaku tergugat.

Akan tetapi, perwakilan badan itu menyatakan bahwa mereka meminta waktu satu minggu untuk menyampaikan jawaban karena mesti berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Majelis hakim kemudian memberikan waktu satu minggu kepada tergugat untuk menyampaikan jawaban atas gugatan serta tanggapan terhadap permohonan penundaan izin, dan menyodorkan bukti terkait dengan permohonan penundaan tersebut.

Dalam perkara ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebenarnya juga diundang untuk menjadi tergugat intervensi, tetapi kementerian itu menolak karena telah mendelegasikan kewenangan penerbitan izin kepada BKPM.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Nurbaiti
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper