Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perkara BLBI: Kesimpulan Misrepresentasi BDNI Dianggap Prematur

Kuasa hukum Syafruddin Arsyad Temenggung, terdakwa korupsi kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, meyakini kesimpulan misrepresentasi yang disusun oleh konsultan hukum BPPN bersifat prematur.
Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (kanan) diwakili kuasa hukumnya Yusril Ihza Mahendra (kiri) menjawab pertanyaan wartawan seusai menandatangani berkas pelimpahan tahap dua di gedung KPK, Jakarta, Rabu (18/4). Berkas perkara tersangka Syafruddin Arsyad Temenggung terkait kasus korupsi penerbitan SKL Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) telah lengkap (P21) dan siap untuk disidangkan. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (kanan) diwakili kuasa hukumnya Yusril Ihza Mahendra (kiri) menjawab pertanyaan wartawan seusai menandatangani berkas pelimpahan tahap dua di gedung KPK, Jakarta, Rabu (18/4). Berkas perkara tersangka Syafruddin Arsyad Temenggung terkait kasus korupsi penerbitan SKL Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) telah lengkap (P21) dan siap untuk disidangkan. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

Bisnis.com, JAKARTA -- Kuasa hukum Syafruddin Arsyad Temenggung, terdakwa korupsi kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, meyakini kesimpulan misrepresentasi yang disusun oleh konsultan hukum BPPN bersifat prematur.

Kuasa hukum Syafruddin Temenggung, Ahmad Yani, menyatakan ada fakta baru terungkap dalam persidangan lanjutan yang digelar awal pekan ini. Syafruddin adalah mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang menjadi terdakwa korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

“Sejumlah saksi mengatakan bahwa mereka baru melakukan audit setelah Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) diselesaikan, release and discharge telah diterbitkan, dan aset-aset telah diserahkan kepada BPPN serta Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) telah dibekukan dan sepenuhnya dalam kekuasaan BPPN,” ujarnya, Rabu (11/7/2018).

Ahmad melanjutkan dalam beberapa dokumen dan fakta yang terungkap di persidangan masalah utang petani tambak, tidak pernah ada dokumen yang menyatakan utang itu dijaminkan oleh Sjamsul Nursalim. Adapun penjamin utang tersebut adalah PT Dipasena Citra Darmaja (DCD) dan PT Wahyuni Mandira (WM).

Dalam perjanjian kredit pun, lanjutnya, PT DCD selaku penjamin memiliki waktu enam bulan untuk mencari petambak baru sebagai pengganti. Selain itu, BDNI akan memberikan pinjaman baru untuk menyelesaikan utang petambak sebelumnya yang macet karena BDNI tetap memegang jaminan rumah dan tambak tersebut.

Akan tetapi, sebelum waktu enam bulan, BDNI sudah dibekukan oleh BPPN sehingga tidak bisa menyalurkan kredit baru kepada petambak pengganti. Berdasarkan fakta tersebut, perjanjian itu tidak bisa dilanjutkan karena ada pihak yang tidak dapat melaksanakan janjinya disebabkan telah dibekukan oleh BPPN.

Ahmad menambahkan saksi lain, yakni Timboel Thomas Lubis dari konsultan Lubis Ganie Surowijoyo yang merupakan konsultan hukum BPPN, dalam persidangan mengaku ragu apakah pihaknya mengeluarkan legal audit berdasarkan isi MSAA ataupun audit dari sebuah kantor akuntan publik ternama.

Konsultan BPPN juga menyatakan di dalam persidangan bahwa mereka tidak diberikan bukti-bukti yang cukup. Menurut Ahmad, legal audit oleh konsultan tersebut prematur sehingga tidak bisa dijadikan pijakan.

Dalam kasus ini, Syafruddin didakwa menghapus piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh DCD) dan WM. Selain itu, dia disebut menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham.

Padahal, menurut jaksa, Sjamsul Nursalim belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang BDNI kepada petambak, yang akan diserahkan kepada BPPN. Kesalahan itu membuatnya seolah-olah sebagai piutang yang lancar atau misrepresentasi.

Pada 4 April 1998, BPPN mengeluarkan Surat Keputusan (SK) yang menyatakan BDNI sebagai bank take over. Selanjutnya, pada 21 Agustus 1998, BDNI ditetapkan sebagai Bank Beku Operasi yang pengelolaannya dilakukan oleh tim yang ditunjuk BPPN dan didampingi Group Head Bank.

BDNI lalu mendapatkan dana BLBI dari BPPN. Bantuan itu berupa saldo debet dan bunga fasilitas saldo debet.

BPPN, melalui Tim Aset Manajemen Investasi (AMI) yang disokong oleh penasihat finansial yaitu JP Morgan, Lehman Brothers, PT Danareksa serta PT Bahana, kemudian membuat neraca penutupan BDNI dan melakukan negosiasi dengan pemegang saham pengendali Sjamsul Nursalim dalam rangka menentukan Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS).

Setelah melakukan perhitungan, ternyata JKPS terhadap Sjamsul sejumlah Rp28,4 triliun. Dalam kesepakatan, dia bakal membayar secara tunai sebesar Rp1 triliun dan penyerahan aset senilai Rp27,4 triliun kepada perusahaan yang dibentuk oleh BPPN dengan tujuan melakukan penjualan atas aset.

Akan tetapi, setelah dilakukan audit berupa financial due dilligence oleh akuntan publik Prasetio Utomo & CO (Arthur Andersen), ditarik kesimpulan bahwa kredit petambak plasma DCD dan WM atas piutang Rp4,8 triliun kepada BDNI tergolong sebagai kredit macet.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper