Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ini Sisa Kewajiban Sjamsul Nursalim, Rp1,1 Triliun?

Nilai utang yang dapat ditagihkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dari utang petambak yang dijaminkan dua perusahaan milik Sjamsul Nursalim yaitu PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) tinggal Rp1,1 triliun dari total Rp4,8 triliun.
Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung bersiap meninggalkan ruangan seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Rabu (18/4). Berkas perkara tersangka Syafruddin Arsyad Temenggung terkait kasus korupsi penerbitan SKL Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) telah lengkap (P21) dan siap untuk disidangkan./Antara
Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung bersiap meninggalkan ruangan seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Rabu (18/4). Berkas perkara tersangka Syafruddin Arsyad Temenggung terkait kasus korupsi penerbitan SKL Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) telah lengkap (P21) dan siap untuk disidangkan./Antara

Bisnis.com, JAKARTA -  Nilai utang yang dapat ditagihkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dari utang petambak yang dijaminkan dua perusahaan milik Sjamsul Nursalim yaitu PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) tinggal Rp1,1 triliun dari total Rp4,8 triliun.

"Kewajibannya berdasarkan putusan KKSK (Komite Kebijakan Sektor Keuangan) 13 Feberuari 2004," kata mantan Kepala Divisi Litigasi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Robertus Bilitea di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (9/7/2018).

Robertus bersaksi untuk terdakwa mantan Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung yang didakwa bersama-sama dengan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorojatun Kuntjoro-Jakti serta pemilik Bank Dagang Negara (BDNI) Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim melakukan dugaan korupsi penerbitan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham BDNI yang merugikan keuangan negara Rp4,58 triliun.

BDNI adalah salah satu bank yang dinyatakan tidak sehat dan harus ditutup saat krisis moneter pada 1998. Berdasarkan perhitungan BPPN, BDNI per 21 Agustus 1998 memiliki utang (kewajiban) sebesar Rp47,258 triliun. Sedangkan aset yang dimiliki BDNI adalah sebesar Rp18,85 triliun termasuk di dalamnya utang Rp4,8 triliun kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) milik Sjamsul Nursalim.

BPPN pada 27 April 2000 memutuskan utang petambak yang dapat ditagih adalah Rp1,34 triliun dan utang yang tidak dapat ditagih yaitu Rp3,55 triiun diwajibkan untuk dibayar kepada pemilik atau pemegang saham PT DCD dan PT WM. Namun Sjamsul Nursalim juga tidak bersedia memenuhi kewajiban itu karena menilai kredit itu Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK lalu membacakan keputusan KKSK 13 Februari 2004 yaitu pertama, nilai utang masing-masing petambak ditetapkan setinggi-tingginya Rp100 juta, dengan penetapan utang maksimal maka dilakukan penghapusan sebagian utang pokok proporsional sesuai beban utang masing-masing petambak plasma dan penghapusan seluruh tunggakan bunga serta angka kewajiban baru didasarkan kebijakan diverifikasi BPPN.

Keputusan kedua adalah atas porsi utang 'sustainable' setinggi-tingginya sebesar Rp100 juta tersebut di telah termasuk tambahan utang berapa pinjaman modal kerja dan 'capital expenditure' baru sekitar Rp80 juta kepada petambak plasma untuk beroperasinya usaha tambak masing-masing petambak.

Ketiga, total utang petambak plasma BPPN adalah sebesar Rp 1,1 triliun. Keempat, penanganan selanjutnya terhadap penyelesaian kewajiban Dipasena termasuk bila dilakukan mekanisme penjualan dlakukan lembaga yang menerima pengalihan tagih BPPN. Kelima, dengan adanya keputusan penanganan penyelesaian kewajiban debitur petambak plasma PT DCD maka peraturan KKSK 27 April 2000 dan 29 Maret 2001 dinyatakan tidak berlaku.

Robertus sendiri tidak tahu mengapa utang Dipasena diputuskan tinggal Rp1,1 triliun.

"Ada dua alternatif awalnya, pertama adalah utang petambak Rp3,9 triliun seluruhnya harus dibayar dengan menggunakan kurs Rp8.550 sedangkan alternatif kedua ada rinciannya, kami diminta untuk mempertimbangkan 'pro-cons' (kelemahan kelebihannya), tapi saya tidak ingat teknis detail angkanya," tambah Robertus.

Robertus dan tim lalu mengedarkan memo kepada para ketua dan wakil ketua BPPN untuk memilih alternatif pertama atau kedua atau tidak memilih.

"Ketua BPPN Pak Syafruddin tidak memberikan pendapatnya," ungkap Robertus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Newswire
Sumber : Antara

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper