Bisnis.com, JAKARTA – Wacana pendataan nomor telepon seluler atau ponsel mahasiswa dan dosen mendapat tanggapan negatif dan anggapan bahwa hal itu berlebihan alias lebay.
Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia M Budi Djatmiko mengatakan pihaknya menganggap wacana Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi terkait pendataan nomor telepon genggam dan media sosial mahasiswa serta dosen sangat berlebihan.
Menurutnya kondisi terkini diperkirakan mahasiswa Indonesia ada 7,5 juta, terus dosen hampir 300.000, dan tenaga nonpenididik 200.000, maka total civitas akademika 8 juta. “Misalnya saja yang tertangkap kasus teroris ada 100 mahasiswa walaupun hanya dua orang, itupun alumni Universitas Riau maka dari civitas akademika kampus hanya 0, 0000125 artinya tidak ada 0,1% pun,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (6/6/2018).
Terkait hal ini, dia mengkhawatirkan fungsi pokok dan peranan kemenristekdikti menjadi polisi cyber crime. “Nanti siapa yang bertangung jawab dengan terus melemahnya daya kompetitif PT kita, yang terus jeblok dibanding negara tetangga, dan jika dosen serta mahasiswa harus diawasi medsosnya maka bentuk pengawasan tersebut dapat mengganggu suasana akademik,” ujarnya.
“Semua pihak sepakat bahwa terorisme adalah musuh bersama. Tetapi langkah penanganannya harus kondusif dan persuasif,. Usul saya, lebih baik pemerintah fokus membangun kesadaran kolektif untuk memerangi teroris. Sudah tidak lagi mendiskreditkan Islam, pesantren, sarungan, berjenggot dan lain-lain,” tuturnya.
Dia menambahkan dalam bentuk menerapkan pola pendidikan yang terus memperhatikan kompetensi dan akhlak mulia paling ampuh adalah pendidikan pada rakyat berbasis suri tauladan terutama para pejabat, harus menjadi contoh praktis bagi rakyatnya dengan memberikan rasa keadilan, kesederajatan, kesejahteraan, solidaritas, dan lain-lain.
Baca Juga
Selain itu, lanjutnya upaya lain untuk menangkal tumbuhnya radikalisme di kampus bisa dilakukan dengan membangun sinergi yang baik antara pemerintah, orang tua mahasiswa dan kampus. Sehingga, dapat tercipta suasana kebersamaan dan tidak saling curiga. Dia khawatir kampus ditinggalkan calon mahasiswa karena stigma “Kampus Gudangnya Radikalisme” padahal belum terbukti secara empiris, tugas akademisi harus meneliti secara mendalam tentang radikalisme dan terorisme tersebut.
“Lagi pula pengawasan nomor HP dan medsos bisa bertentangan dengan hak privasi orang. Satu hal yang terlupakan adalah pola asuh di lingkungan keluarga yang harus ditumbuhkembangkan sehingga orang tua diajak terlibat dalam pergaulan putra putrinya,” tegas Budi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel