Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Asia Tenggara Cari Alternatif Pendanaan Infrastruktur Selain China

Kuatnya pembangunan infrastruktur suatu negara bisa menjadi salah satu faktor penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut. Adapun Asean merupakan salah satu kawasan yang sedang gencar dalam membangun infrastrukturnya
Pekerja menyelesaikan pembangunan fly over di kawasan Pancoran, Jakarta, Selasa (6/6)./JIBI-Nurul Hidayat
Pekerja menyelesaikan pembangunan fly over di kawasan Pancoran, Jakarta, Selasa (6/6)./JIBI-Nurul Hidayat

Kabar24.com, JAKARTA- Kuatnya pembangunan infrastruktur suatu negara bisa menjadi salah satu faktor penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut. Adapun Asean merupakan salah satu kawasan yang sedang gencar dalam membangun infrastrukturnya.

Asian Development Bank (ADB) mencatat, setidaknya kawasan Asia Tenggara akan membutuhkan dana sekitar US$2,8 miliar untuk membiayai pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, pelabuhan, dan kereta api sepanjang 2016 hingga 2030. Hal itu dilakukan sebagai upaya mempertahankan laju perekonomian dan mengurangi kemiskinan.

Melihat tingginya proyek infrastruktur di Asean, Jepang dan China pun terus berlomba untuk menanamkan investasinya dalam pembangunan infrastruktur di kawasan tersebut sejak periode 2000-an. Data BMI Research  menunjukkan investasi Jepang untuk proyek infrastruktur di Asean, baik yang telah selesai maupun masih berjalan, telah mencapai US$230 miliar, dan investasi China tercatat US$155 miliar.

Persaingan antara Jepang dan China dalam hal menyalurkan pembiayaan ke negara lain pun semakin meningkat dalam sedekade terakhir dan Asean muncul sebagai lokasi yang paling diminati oleh kedua negara utama Asia tersebut. Sejumlah pengamat pun menilai Asean memang menjadi salah satu lokasi strategis untuk meningkatkan pengaruh bagi Jepang maupun China di Benua Kuning.

China pun diketahui telah mendanai beberapa investasi di kawasan tersebut, yang sejalan dengan inisiasi Belt and Road miliknya dengan anggaran US$1 triliun.

Namun, pada perkembangannya para pembuat kebijakan di Asia Tenggara justru tengah mengincar sumber investasi selain dari China untuk mengurangi ketergantungannya terhadap negara ekonomi terbessar kedua dunia itu.

Saat ada pertemuan 9 negara anggota Asean di Singapura pada awal bulan ini, pilihan menerima investasi dari China juga hanya disebutkan dua kali. Padahal, pertemuan yang disponsori oleh Bank Dunia itu digelar untuk membicarakan kebutuhan infrastruktur kawasan Asia Tenggara.

Para pembuat kebijakan negara-negara Asean tampak tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama seperti yang terjadi di Sri Lanka. Kasus pembangunan Pelabuhan Hambantota di Sri Lanka dianggap sebagai peringatan  bagi negara-negara tetangganya, ketika perekonomian negara tersebut terlalu bergantung dengan China sehingga menimbulkan pembengkakan utang dan terpaksa menggadaikan asetnya untuk Negeri Panda.

Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde dalam pidatonya pekan lalu di Beijing pun telah mengingatkan sejumlah risiko terkait pendanaan inisiasi Belt and Road.

“Tantangan pertamanya adalah [agar China] meyakinkan bahwa inisiasi Belt and Road hanya akan memberikan dana seperlunya,” ujarnya sambil menambahkan bahwa inisiasi ini juga tidak menutup kemungkinan adanya proyek gagal dan penyalahgunaan pendanaan, seperti dikutip Bloomberg, Selasa (17/4).

Lagarde melanjutkan, di negara-negara yang memiliki utang tinggi, manajemen negara tersebut harus berhati-hati mengendalikan sistem keuangannya. Hal ini, menurutnya, dapat melindungi kepentingan China dan mitranya sebelum terjun ke dalam kesepakatan yang dapat membebani sektor keuangan di masa depan.

IMF juga menyebutkan dalam laporannya, terdapat 8 negara yang berpotensi mengalami kerugian akibat tekanan utang dari pendanaanBelt and Road. Hal itu melihat rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) yang sangat tinggi dan menjadikan China sebagai kreditur dominannya.

Di antara 8 negara tersebut, Laos dilaporkan memiliki utang terhadap PDB tertinggi sebesar 70,3% tahun ini, naik dari 69% pada 2017.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Dwi Nicken Tari
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper