Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

AS Berencana Tambah Pengenaan Tarif Untuk China, Ini Komentar Pelaku Pasar

Direktur Dewan Ekonomi Nasional AS Lary Kudlow menghimbau pasar untuk tidak bereaksi berlebihan terhadap apa yang terjadi antara AS dan China.
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump/Reuters
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump/Reuters

Kabar24.com, JAKARTA - Direktur Dewan Ekonomi Nasional AS Lary Kudlow menghimbau pasar untuk tidak bereaksi berlebihan terhadap apa yang terjadi antara AS dan China.

Namun demikian aksi saling balas dua negara ekonomi terbesar itu tetap membuat bingung pasar dan akhirnya menekan dua indeks utama acuan di bursa AS.

Pada penutupan perdagangan pada Jumat (6/4), indeks S&P 500 ditutup melemah 2,19% ke level 2.604,47. Adapun indeks Dow Jones Industrial terkoreksi 2,34% ke level 23.932,76.

Meskipun demikian, mantan pejabat senior Treasury AS yang kini menjadi Managing Director Emerging Market di TCW Group Inc. David Loevinger meragukan langkah Trump kali ini dan memperkirakan pasar tidak lagi terlalu fokus dengan perdagangan bilateral AS dan China.

“Tidak jelas hubungannya antara apa yang dikatakan presiden [Trump] dengan apa yang sebenarnya akan menjadi hukum. Pasar akan mengacuhkan pernyataan Gedung Putih untuk isu perdagangan,” ujarnya seperti dikutip Bloomberg, Minggu (8/4/2018).

Dengan cepatnya informasi silih-berganti dari Gedung Putih, investor pun telah banyak mengambil keputusan yang sangat mahal dalam merespons pesan dari administrasi Trump.

Peter Tuz, Direktur Chase Investment Counsel di Virginia, juga menambahkan kali ini ada beberapa ‘aksi dari polisi baik, dan polisi buruk’ di antara Sang Presiden dan penasihatnya.

“Tentu saja kita mendengarkan keduanya dan berharap ada yang berkepala dingin di antara mereka. Itu memberikan kita waktu untuk duduk sejenak dan tidak membuat keputusan yang dapat membuat rugi jika tarif ini benar-benar diterapkan,” ujar Tuz.

Sebelumnya, kejadian seperti ini sempat terjadi terhadap dolar. Pada Januari, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin menyambut pelemahan mata uang dolar AS. Di sisi lain, Trump mengumumkan dia ingin dolar AS untuk menguat, kemudian Kudlow menambahkan pada Maret bahwa dia ingin dolar AS lebih menguat lagi. Alhasil dolar AS bergerak whipsaw, atau situasi kebingunan di antara para trader dan investor untuk menerka arah pergerakan harga.

Pendiri DataTrek Research Nicholas Colas menjelaskan padu-padan antara pengumuman dari Gedung Putih dan reaksi pelaku pasar tentu akan sering kali terjadi.

“Yang pasti, administrasi [Trump] ini mengambil langkah yang sangat berbeda. Telah banyak volatilitas memperlihatkan usaha pasar untuk memahami apa yang mereka coba sampaikan,” katanya, seperti dikutip Reuters.

Lebih lanjut Colas menilai, tingginya volatilitas yang terjadi di pasar saham ini bisa dimanfaatkan semua orang yang ingin berinvesasi untuk masuk ke pasar. “Inilah saatnya bagi investasi apapun yang berjalan dalam volatilitas, apakah trader opsi maupun pencari dana lindung yang dipengaruhi momemtum.”

Sementara itu, Manajer Kingsview Asset Management di Chicago Paul Nolte justru menilai saat ini tidak akan ada investor yang ingin mengubah portofolio berdasarkan volatilitas. “Ini adalah pasar trader, bukannya pasar investor,” tuturnya.

Wakil Direktur dan Kepala Strategi Pemasaran Bruderman Asset Management di New York Oliver Pursche juga menegaskan tidak akan menukar strategi investasinya di tengah-tengah retorika ini.

“Saya tidak akan menilai posisi sekarang ini akan berakhir dengan negosiasi yang baik. Saya telah melihat dengan kritis dan waspada,” ungkapnya.

John Surplice, Manager Pendanaan Invesco Perpetual di London, mengatakan dia mungkin tidak akan mengubah posisi portofolionya merskipun kebijakan menjadi semakin tidak jelas.

“Sulit untuk memberikan tampilan definitif, mencoba untuk menebak siapa pemenang akan semakin rumit karena jika perang dagang benar-benar terjadi maka akan memperlambat pertumbuhan ekonomi global dan otomatis berdampak negatif untuk banyak korporasi,” ungkapnya.

Investor dan ekonom yang menghadiri seminar Ambrosetti Spring pada 6-7 April 2018 di Italia juga menyuarakan kekhawatiran terhadap sikap saling mengancam dua ekonomi terbesar di dunia tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Dwi Nicken Tari
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper