Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Konflik AS-Korut, Posisi China Dalam Dilema

Selama berminggu-minggu, Xi telah terjebak dalam dilema saat Presiden Korut Kim Jong Un meluncurkan rudal balistik antar benua ke Laut Jepang dan Presiden AS Donald Trump melepaskan kekesalannya dengan peringatan keras terhadap Korut.
Presiden AS Donald Trump berinteraksi dengan Presiden China Xi Jinping di Mar-a-Lago, Palm Beach, Florida, AS, 6 April 2017./.Reuters-Carlos Barria TPX
Presiden AS Donald Trump berinteraksi dengan Presiden China Xi Jinping di Mar-a-Lago, Palm Beach, Florida, AS, 6 April 2017./.Reuters-Carlos Barria TPX

Bisnis.com, JAKARTA - Semakin sulit bagi Presiden China Xi Jinping untuk mempertahankan dukungan bagi Korea Utara.

Selama berminggu-minggu, Xi telah terjebak dalam dilema saat Presiden Korut Kim Jong Un meluncurkan rudal balistik antar benua ke Laut Jepang dan Presiden AS Donald Trump melepaskan kekesalannya dengan peringatan keras terhadap Korut.

China telah mendesak agar ketegangan mereda sambil mendukung sanksi yang lebih berat terhadap Korea Utara untuk menangkal ancaman sanksii dan serangan militer dari AS terhadap Korut.

Sementara itu, kemungkinan perang nuklir telah memicu perdebatan di Beijing untuk mempertahankan dukungan kepada Korut, yang telah dimulai sejak Perang Korea tahun 1950an. Kedua negara telah tumbuh terpisah selama beberapa dekade terakhir, dengan China membuka diri untuk menjadi negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia sementara Korea Utara menjadi lebih terisolasi.

Walaupun China secara resmi menginginkan Semenanjung Korea bebas nuklir, China telah lama mentolerir program senjata Korea Utara karena melihat runtuhnya rezim Kim sebagai ancaman strategis yang lebih besar.

Namun, kenaikan China di panggung dunia telah memberikannya porsi yang lebih besar dalam menjaga stabilitas global, paling tidak untuk mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi yang mendukung cengkeraman Partai Komunis terhadap kekuasaan. Hal tersebut memberi suatu kepentingan untuk memastikan bahwa Kim tidak melakukan apapun yang dapat menyebabkan perang atau masalah ekonomi bagi China.

"Saya tidak tahu di mana titik tolaknya Beijing, tapi pandangan saya adalah China secara perlahan tapi pasti bergerak menuju titik kritis," kata Zhu Feng, dekan Institut Studi Internasional di Universitas Nanjing, seperti dikutip Bloomberg, Senin (14/8/2017).

"Setiap langkah provokatif oleh rezim Kim mendorong China sedikit lebih jauh dari Korea Utara, dan jarak antara dua negara telah membesar," lanjutnya.

Global Times yang berafiliasi dengan Partai Komunis China telah memberi gambaran sekilas tentang bagaimana pergeseran China. Selama ketegangan yang meningkat di bulan April, China mengatakan bahwa mereka harus mempertimbangkan untuk memotong impor minyak.

Sementara itu, sebuah editorial pada hari Jumat mengatakan bahwa China harus tetap netral jika Korea Utara memulai perang dengan serangan rudal, namun akan melakukan intervensi jika AS dan Korea Selatan berusaha untuk menggulingkan rezim Kim.

"China menentang proliferasi dan perang nuklir di Semenanjung Korea," kata editorial tersebut. "Ini tidak akan mendorong pihak manapun untuk memicu konflik militer, dan dengan tegas menolak pihak manapun yang ingin mengubah status quo dari wilayah di mana kepentingan China diperhitungkan."

Editorial tersebut merupakan pengecualian pada pengontrolan ketat terhadap media China, di mana ketegangan tersebut tertutupi di bawah berita mengenai gempa di Sichuan dan tantangan Angkatan Laut Amerika Serikat terhadap klaim teritorial China.

Sementara itu, berita mengenai Korea Utara tidak berada dalam 50 topik teratas di Weibo (situs microblogging China), bahkan di saat topik tersebut memberikan tekanan terhadap pasar modal di seluruh dunia.

Tak lama setelah Trump ‘berkicau’ di akun Twitternya bahwa solusi militer telah diputuskan, Presiden Xi mengatakan kepadanya dalam sebuah panggilan telepon bahwa semua pihak harus menghindari komentar provokatif sementara menyetujui Semenanjung Korea harus bebas dari nuklir.

Gedung Putih mengatakan bahwa Trump menantikan kunjungan ke China tahun ini, dan menyebut hubungannya dengan Xi "sangat dekat."

China dan Rusia mendukung sanksi PBB awal bulan Agustus yang memangkas ekspor dari Korea Utara yang mencapai US$3 miliar menjadi sekitar sepertiganya. Kesepakatan tersebut mengecualikan impor minyak, yang merupakan jalur ekonomi terbesar pemerintahan Kim, dan menghentikan AS untuk menyesuaikan hukuman pada bank-bank China yang menangani uang Korea Utara, setidaknya untuk saat ini.

"Ketegangan AS – China akan meningkat lagi ketika sanksi PBB gagal mengubah perilaku Korea Utara," kata Andrew Gilholm, direktur analisis Asia Utara di Control Risks Group.

"Kim tampaknya bertekad untuk sampai pada titik di mana tidak mungkin bagi AS untuk menghindar dari terjadinya perang nuklir. Dia mungkin terburu-buru untuk sampai pada kondisi tersebut sebelum sanksi yang lebih ketat dimulai, dan dia ingin memaksa pengakuan AS atas rezimnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Fajar Sidik
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper