Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah Diminta Kembalikan Khittah Batam Sebagai Kawasan Industri Teknologi Tinggi

Pemerintah pusat diminta mengembalikan Batam ke cita-cita awal sebagai kawasan industri untuk teknologi tinggi yang mampu bersaing di kawasan Asia Pasifik.
Direktur Pemberitaan Media Indonesia Usman Kansong (kanan) memimpin Diskusi Fokus mengenai Batam di Jakarta, Selasa (08/8)/Bisnis
Direktur Pemberitaan Media Indonesia Usman Kansong (kanan) memimpin Diskusi Fokus mengenai Batam di Jakarta, Selasa (08/8)/Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah pusat diminta mengembalikan Batam ke cita-cita awal sebagai kawasan industri untuk teknologi tinggi yang mampu bersaing di kawasan Asia Pasifik.

Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif INDEF (Institute for Development of Economics and Finance), Enny Sri Hartati dalam acara diskusi kelompok terfokus (FGD) “Quo Vadis Batam”, digelar di Jakarta (8/8/2017).

“Sesuai amanat UU No.44 Tahun 2007, wewenang BP Batam sebagai pengelola Kawasan Batam, Rempang, dan Galang (Barelang) yang merupakan kawasan perdagangan bebas (FTZ) harus dipertegas. Wewenang dan tupoksi instansi lain yang terkait dengan pengembangan FTZ Batam dapat dilakukan dalam satu lembaga saja yakni BP Batam,” ungkap Enny.

UU tersebut sejalan dengan Keppres No.41 Tahun 1973 yang menugaskan BP Batam untuk mengembangkan dan mengendalikan pembangunan pulau Batam sebagai daerah industri, kegiatan transshipment (pengalih-kapalan), merencanakan dan mengusahakan kebutuhan prasarana dan fasilitas Batam, serta mengelola perizinan investasi.

Aturan yang sama juga memberi wewenang kepada BP Batam yang meliputi tiga aspek yakni pertanahan (termasuk hak pengelolaan, peruntukan, penggunaan atas tanah dan menerima uang wajib tahunan atas tanah), pengembangan dan pengelolaan infrastruktur, dan pelayanan investasi.

Dalam praktiknya, tugas dan kewenangan tersebut tidak berjalan mulus akibat munculnya “dua nahkoda” dalam pengelolaan kawasan tersebut, yakni BP Batam dan Pemkot Batam.

Menurut Deputi BP Batam bidang Pelayanan Umum, Gusmardi, UU tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (UU No.44 Tahun 2007) yang menjadi dasar BP Batam dan UU Pemerintah Daerah (UU No.23 Tahun 2014) yang menjadi pegangan pemerintah kota, menimbulkan gesekan kewenangan antara BP Batam dan Pemerintah kota.

Padahal, menurut Gusmardi, tidak ada satupun aturan perundangan, peraturan pemerintah, dan perpres yang membatalkan kewenangan BP Batam.

Khusus untuk perizinan usaha, bahkan dibentuk lembaga pelayanan terpadu di bawah BP Batam sesuai Perpres No.97 Tahun 2014. Aturan ini dengan tegas menyatakan penyelenggaraan pengurusan perizinan dan nonperizinan mulai dari yang menjadi urusan pemerintah, pemprov, pemkot di kawasan FTZ, diselenggarakan oleh BP Batam.

Kepala BP Batam, Hatanto Reksodipoetro menyatakan bahwa konsekuensi dari perundangan yang belum mendukung tugas dan kewenangan BP Batam adalah munculnya masalah turunan seperti permasalahan lahan, termasuk masalah spekulan tanah dan maraknya lahan tidur yang mencapai 7.700 hektar, bahkan ada yang 28 tahun dibiarkan.

Belum lagi jumlah industri berteknologi menengah rendah yang mencapai 78% dari 715 industri yang saat ini ada di Batam, sementara jumlah industri berteknologi tinggi hanya 7%.

Menurut Hatanto, dalam kurun waktu 15-20 tahun terakhir, banyak penyimpangan yang terjadi di Batam, antara lain pengalokasian lahan tanpa melihat tujuan penggunaan dan tujuan pengembangan wilayah.

Ditemukan pula pengalokasian lahan yang didasarkan pada kepentingan tertentu sehingga terjadi tumpang tindih dan perizinan diberikan tanpa prosedur yang berlaku demi mendapatkan dukungan untuk kepentingan tertentu.

Tidak hanya itu, di Batam ternyata sebagian besar dari 45 ribu hektar wilayahnya justru menjadi daerah pemukiman (28,3%), jauh di atas luas kawasan industri yang hanya mencakup 16,6% luas wilayah.

Terkait wacana mengubah Batam dari Kawasan Perdagangan Bebas (FTZ) menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Enny menegaskan bahwa status FTZ tetap dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja perekonomian nasional.

Manfaat FTZ jauh lebih besar daripada KEK, terutama dari sisi perpajakan, daya saing (kemudahan berinvestasi, ekspor dan biaya logistik), serta penerimaan devisa.

“Yang dibutuhkan saat ini adalah revitalisasi FTZ dengan menambah insentif untuk meningkatkan daya saing, bukan mengubahnya menjadi KEK. FTZ berorientasi pada kepentingan nasional yang berdampak pada pembangunan daerah, sementara KEK hanya efektif menyelesaikan permasalahan kelembagaan dan berorientasi pada daerah,” kata Enny.

Enny menegaskan bahwa polemik Batam harus diakhiri dan semua pihak harus mencapai kesepakatan dengan melihat best practices di kawasan FTZ yang telah berhasil seperti di Shenzhen, Tiongkok dan Iskandar/IRDA di Malaysia.

FTZ seharusnya dikelola langsung oleh pemerintah pusat melalui orang-orang profesional dan berintegritas. Keistimewaan ini diyakini Enny mampu membuat Batam kembali ke tujuan awal untuk menjadi kawasan industri yang kompetitif dan dapat menjawab permintaan pasar, sehingga dapat bersaing di Asia Pasifik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Saeno
Editor : Saeno

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper