Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Politisi PDIP Bantah Menikmati Uang Pelicin Korupsi Bakamla

Politisi PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari membantah bahwa dia turut menikmati aliran dana korupsi proyek pengadaan satelit monitoring pada Badan Keamanan Laut.
Terdakwa yang merupakan Direktur Utama PT Technofo Melati Indonesia, Fahmi Darmawansyah, menjalani sidang lanjutan kasus suap Bakamla di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (20/3)./Antara-Hafidz Mubarak A.
Terdakwa yang merupakan Direktur Utama PT Technofo Melati Indonesia, Fahmi Darmawansyah, menjalani sidang lanjutan kasus suap Bakamla di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (20/3)./Antara-Hafidz Mubarak A.

Bisnis.com, JAKARTA - Politisi PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari membantah bahwa dia turut menikmati aliran dana korupsi proyek pengadaan satelit monitoring pada Badan Keamanan Laut.

Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terdakwa Dirut PT Merial Esa Fahmi Darmawansyah, terungkap bahwa sang terdakwa itu menyerahkan uang sebanyak Rp24 miliar kepada Fahmi Habsyi dari PDIP yang kemudian diteruskan ke sejumlah wakil rakyat, termasuk Eva Sundari.

Uang sebanyak itu merupakan komisi sebesar 6% dari nilai proyek beranggaran Rp400 miliar tersebut. Uang tersebut disebutkan sebagai pelicin pengurusan pemenangan tender. Pengurusan tersebut melalui Eva yang merupakan Balitbang PDIP, anggota Komisi XI DPR dari PKB Bertus Merlas, anggota Komisi I dari Golkar Fayakun Andriadi, Bappenas, dan Kementerian Keuangan.

Eva sendiri mengaku memang pernah berjumpa dengan Fahmi Habsy pada Oktober 2016 namun dia mengaku bukan pada posisi strategis untuk turut bermain dalam proyek tersebut. “Saya tidak paham, ketemu Fahmi Habsy bulan Oktober untuk urusan puisi. Setelah itu tidak ketemu dan menghilang sejak kasus operasi tangkap tangan,” paparnya, Sabtu (9/4/2017).

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejauh ini telah menetapkan Eko Susilo Hadi, Dirut PT Merial Esa (ME) Fahmi Dharmawansyah, dan dua anak buahnya Hardy Stefanus, dan M Adami Okta dalam kasus yang bermula dari operasi tangkap tangan (OTT). Eko diduga menerima uang Rp2 miliar dari Fahmi melalui Hardy dan Adami untuk menggarap proyek satelit monitor.

Uang itu diduga merupakan bagian dari commitmen fee sebesar 7,5% dari total nilai proyek satelit monitor sekitar Rp200 miliar. Suap ini diberikan lantaran Eko merupakan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) proyek yang didanai APBNP 2016 tersebut.

Atas tindak pidana yang diduga dilakukannya, Eko dijerat dengan Pasal Pasal 12 ayat (1) huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sementara itu, Hardy Stefanus, M Adami Okta dan Fahmi Dharmansyah yang menjadi tersangka pemberi suap disangkakan melanggar Pasal Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Selain empat tersangka yang ditetapkan KPK, Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI yang juga mengusut kasus ini sudah menetapkan Direktur Data dan Informasi Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana Pertama (Laksma) Bambang Udoyo sebagai tersangka.

Tak hanya itu, Puspom TNI pun menyita barang bukti berupa uang sebesar SGD80 ribu dan US$ 15.000 saat menggeledah kediaman Bambang yang juga Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek pengadaan satelit monitor di Bakamla.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper