Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

SIDANG PENISTAAN AGAMA: Ahli Hukum Pidana, Pasal Sangkaan ke Ahok Tidak Tepat

Ahli hukum pidana Universitas Udayana I Gusti Ketut Ariawan menyatakan dua pasal dalam KUHP yang disangkakan terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam kasus penodaan agama, tidak tepat.
Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok (ketiga kiri) berdiskusi dengan tim kuasa hukumnya saat menjalani sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama di PN Jakarta Utara, Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta/Antara-Muhammad Adimaja
Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok (ketiga kiri) berdiskusi dengan tim kuasa hukumnya saat menjalani sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama di PN Jakarta Utara, Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta/Antara-Muhammad Adimaja

Bisnis.com, JAKARTA -  Ahli hukum pidana Universitas Udayana I Gusti Ketut Ariawan menyatakan dua pasal dalam KUHP yang disangkakan terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam kasus penodaan agama, tidak tepat.

"Kalau Pasal 156 itu sebetulnya bukan delik terhadap agama tetapi delik terhadap golongan atau penduduk," kata I Gusti saat memberikan kesaksian dalam sidang ke-16 Ahok di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Rabu (29/3/2017).

Sementara, kata dia, Pasal 156a KUHP memang memuat mengenai penodaan agama, namun kita harus melihat secara historis kapan pasal itu keluar terlebih dahulu.

"Pasal itu keluar dalam kerangka penyelamatan negara Indonesia dari munculnya aliran kepercayaan yang dianggap membahayakan agama di Indonesia," tuturnya.

Oleh karena itu, menurut dia, kita harus tetap kepada tataran penodaan terhadap agama itu diberlakukan Pasal 156a KUHP tetapi penyelesaiannya tetap merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965.

"Kenapa? karena judul dari pada Undang-Undang itu adalah pencegahan berarti preventif, bukan represif," kata dia.

Kemudian ia menyatakan dari permohonan uji materi soal Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2009 dan 2012 tidak dikabulkan dan dinyatakan tetap berlaku.

"Penyelesaian terhadap Pasal 156a itu berlaku ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 khususnya Pasal 2 ayat 1," ujarnya. Ia pun menilai bahwa seharusnya yang diberlakukan dalam kasus Ahok tersebut adalah Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tersebut.

"Tetapi ini kan dianggap tindak pidana yang tercantum dalam KUHP. Jadi saya tidak sependapat seperti itu," ucap I Gusti. Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara.

Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Newswire
Sumber : ANTARA
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper