Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mayoritas Perusahaan di Jepang Tahan Laju Kenaikan Upah

Mayoritas Perusahaan di Jepang akan menahan kenaikan upah lebih lambat dibandingkan dengan tahun lalu. Jelang negoisasi tahunan antara serikat pekerja dan perusahaan di Jepang, survei Reuters menyebut hanya 19% pelaku usaha yang akan menaikkan upah bulanan hingga 2% lebih.
Ilustrasi upah minimum/Istimewa
Ilustrasi upah minimum/Istimewa

Kabar24.com, JAKARTA -  Mayoritas Perusahaan di Jepang akan menahan kenaikan upah lebih lambat dibandingkan dengan tahun lalu.

Jelang negoisasi tahunan antara serikat pekerja dan perusahaan di Jepang, survei Reuters menyebut hanya 19% pelaku usaha yang akan menaikkan upah bulanan hingga 2% lebih. 

Padahal, kesepakatan kenaikkan upah bulanan pada tahun lalu rata-rata bisa mencapai 2,14%. Perhitungan tersebut didapat dari sistem kenaikkan upah di Jepang yang mengacu kepada masa bekerja seseorang di perusahaan.

Dalam jajak pendapat bulanan yang dilakukan pada Maret 2017, sebanyak 42% perusahaan di Jepang menyatakan tidak akan menaikkan upah dasar pada tahun ini. Sementara itu, 40% menyatakan akan menaikkan upah kurang dari 1%.

Sisanya, hanya 18% yang memproyeksikan kenaikan upah lebih dari 1% pada 2017. Survei tersebut dilakukan terhadap 531 perusahaan besar dan kecil di Jepang 

Director of Economic Research NLI Research Institur Taro Saito menilai kondisi tersebut akan mendorong situasi yang berat bagi konsumen. “Akan terjadi kenaikkan harga akibat imbas dari melemahnya Yen dan menguatnya harga minyak,” ujar Taro dikutip dari Reuters, Minggu (26/3) waktu setempat.

Dia menambahkan bahwa ekspor akan menopang perekonomian Jepang. Namun, menurutnya konsumsi domestik tidak dapat diandalkan.

Seperti diketahui, sejak 2012 kebijakan Perdana Menteri Shinzo Abe mendorong perusahaan di Jepang agar terus menaikkan upah. Tujuannya, agar konsumsi domestik meningkat sehingga mendorong pertumbuhan perekonomian.

Para pelaku usaha mengaku terpaksa menaikkan upah dalam empat tahun belakangan meski keuntungan mereka menipis. Hal itu diakui untuk mendapatkan sumber daya di tengah krisis jumlah tenaga pekerja yang melanda negeri matahari terbit. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper