Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

ICJR-Mappi FHUI: Perma Penindakan Korporasi Harus Didukung KUHP

Setelah Peraturan Mahkamah Agung nomor 13 tahun 2016 disahkan pada akhir Desember 2016, aparat penegak hukum telah memiliki guidance dalam menindak korporasi yang terlibat tindak pidana korupsi.
Tersangka kasus suap terkait pengajuan Peninjauan Kembali (PK) pada PN Jakarta Pusat Doddy Arianto Supeno berjalan keluar mobil tahanan untuk diperiksa KPK, KPK, Jakarta, Rabu (25/5)./Antara
Tersangka kasus suap terkait pengajuan Peninjauan Kembali (PK) pada PN Jakarta Pusat Doddy Arianto Supeno berjalan keluar mobil tahanan untuk diperiksa KPK, KPK, Jakarta, Rabu (25/5)./Antara

Kabar24.com, JAKARTA—Setelah Peraturan Mahkamah Agung nomor 13 tahun 2016 disahkan pada akhir Desember 2016, aparat penegak hukum telah memiliki guidance dalam menindak korporasi yang terlibat tindak pidana korupsi.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI  FH UI) mengapresiasi upaya MA dan KPK dalam menindak korporasi nakal guna mewujudkan korporasi bersih tersebut.

Di samping memberikan  apresiasi, ICJR beserta Mappi juga memberikan beberapa catatan singkat terhadap Perma ini. Pertama, Perma itu masih bersifat transisi, untuk mengisi kekosongan hukum Indonesia terkait pertanggungjawaban pidana korporasi.

Direktur Ekesekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan perlunya pengaturan yang lebih utuh terkait dengan hal ini seharusnya berada di KUHP.

“Namun Rancangan KUHP masih belum selesai pembahasan, sehingga perma ini nanti harus di sesuaikan dengan KUHP baru,” ujarnya kepada Bisnis.com, Rabu (4/1/2016).

Kedua, Perma ternyata banyak juga mengatur mengenai proses-proses yang sebenarnya dilaksanakan oleh institusi lain selain pengadilan, seperti Kejaksaan, KPK  dan Kepolisian.

“Tentu ini menjadi pertanyaan, apakah pengaturan Perma ini terhadap institusi lain akan dipatuhi?" ujarnya.

Sebagai contoh Kejaksaan RI sudah memiliki Perja Nomor 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi.

Perlu dilihat juga apakah ada tumpang tindih atau kontradiksi antara aturan yang dikeluarkan MA dan aturan internal institusi lainnya, seperti Perja Nomor 28 Tahun 2014 tersebut,” imbuhnya.

Ketiga, secara umum Perma tersebut hanya mengatur mengenai hal-hal yang bersifat formal-prosedural, seperti teknis pemeriksaan korporasi di pengadilan, format surat panggilan terhadap korporasi, format dakwaan terhadap korporasi, format putusan terhadap korporasi.

Padahal, katanya, sudah ada beberapa perkara korporasi yang tanpa adanya aturan formal tersebut tetap dapat dilakukan proses persidangan.

Menurutnya, yang seharusnya menjadi perhatian juga selain aturan formal-prosedural adalah hal-hal yang bersifat substansi seperti mekanisme penarikan pertanggungjawaban pidana korporasi, kapan suatu perbuatan dapat dibebankan kepada korporasi dan kapan suatu perbuatan tidak dapat dibebankan kepada korporasi.

Terlepas dari sejumlah catatan tersebut, dengan adanya perma tersebut maka lembaga antirasuah yakni KPK akan dengan mudah mengusut sejumlah kasus yang melibatkan korporasi besar seperti kasus reklamasi pantai Jakarta Utuara dan suap panitera PN Jakarta Pusat yang diduga melibatkan Eddy Sindoro.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper