Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BPJS KESEHATAN: Kanker Prostat Mahmud Lagali Sembuh

Senyum bahagia terpancar dari wajah Mahmud Lagali (73 tahun), warga asal Enrekang, Sulawesi Selatan saat menceritakan kesembuhan yang kini ia dapat. Padahal, setahun lalu, ia tak pernah berpikir bisa sembuh dari kanker prostat yang ia derita.
Ilustrasi-BPJS Kesehatan/Jibiphoto
Ilustrasi-BPJS Kesehatan/Jibiphoto

Bisnis.com, JAKARTA - Senyum bahagia terpancar dari wajah Mahmud Lagali (73 tahun), warga asal Enrekang, Sulawesi Selatan saat menceritakan kesembuhan yang kini ia dapat. Padahal, setahun lalu, ia tak pernah berpikir bisa sembuh dari kangker prostat yang ia derita.

Awalnya, Mahmud berniat mendiamkan rasa sakit itu. Namun, kian hari, sakit yang dirasanya makin menjadi. Di satu sisi, Mahmud merasa harus dicarikan solusi atas rasa sakitnya. Namun, pensiuanan PNS itu takut untuk berobat. Ia khawatir kalau harus dirawat lama.

“Dimana mau ambil uang, pikir saya waktu itu. Gaji saya hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Berapa banyak uang yang harus saya keluarkan kalau ternyata harus dirawat,” tuturnya melalui pesan elektronik, Sabtu (17/9/2016).

Namun, rasa sakit yang makin menjadi setiap kali akan buang air kecil memaksa Mahmud memeriksakan kesehatan ke dokter. Atas rujukan Puskesmas ia lalu memeriksakan diri ke rumah sakit dan divonis menderita kanker prostat. Dokter memintanya agar melakukan kemoterapi rutin.

Awalnya, Mahmud sempat ragu menjalani kemoterapi karena khawatir dengan biaya. Namun setelah meyakini fasilitas BPJS Kesehatan cukup ia memutuskan untuk melakukan pengobatan. Kini ia sudah menjalani 4 kali kemoterapi dengan biaya satu kali terapi Rp12,5 juta.

“Saya beruntung. Saya berharap penderita kanker lainnya tidak menyerah di tengah jalan. Selalu ada obat di setiap penyakit, termasuk kanker. Saya pun berpikir, kanker bukan vonis mati,” ujar Mahmud.

Sayangnya, suka cita yang dirasakan Mahmud, belum dirasakan semua penderita kanker lain. Di beberapa daerah, masih banyak pasien kanker peserta BPJS Kesehatan yang tak mendapat pelayanan maksimal.

Indria, orang tua pasien kanker, asal Lampung yang Bisnis temui dalam seminar pemanfaatan JKN untuk pasien kanker bercerita kalau selama menjadi pasien BPJS Kesehatan ia tak mendapatkan layanan maksimal. Ia juga merasa ada perlakuan berbeda antara pasien BPJS Kesehatan dengan pasien umum. Misalnya terbatasnya persediaan obat untuk pasien BPJS Kesehatan.

“Banyak obat yang tak ditanggung. Sementara menurut dokter obat itu harus ditebus karena berperan penting dalam penyembuhan penyakit kanker anak saya. Dalam hal pelayanan kami juga sering harus menunggu seharian.”

Maya Amiamy Rusady, Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan mengatakan, belum maksimalnya pelayanan yang diterima pasien kanker salah satunya karena belum samanya komitmen setiap pimpinan dan jajaran pengelola rumah sakit mitra. Padahal para manajemen rumah sakit itu telah berjanji kepada BPJS Kesehatan untuk memberikan pelayanan paripurna kepada setiap pasien yang datang.

Dia mengatakan berdasarkan amanat undang-undang peran badan adalah penjamin dan pembayar. Namun karena BPJS Kesehatan merupakan representasi negara, maka pihaknya juga pro aktif melakukan dorongan kepada rumah sakit untuk melakukan pembenahan pelayanan

Maya juga menyayangkan rendahnya tingkat kepatuhan masyarakat dalam membayar iuran. Ia mencontohkan, saat ini terdapat jutaan peserta bukan penerima upah (peserta mandiri) yang menunggak membayar BPJS Kesehatan. Pembayaran hanya dilakukan ketika mengalami sakit. Padahal, sejak awal prinsip utama BPJS Kesehatan adalah gotong royong.

“Kepatuhan membayar tagihan ini akan sangat berpengaruh terhadap jangkauan layanan untuk seluruh peserta. Misalnya untuk satu kasus pasien deman berdarah dibutuhkan gotong royong dari 80 orang sehat. Sedangkan untuk membiayai pengobatan satu pasien kanker dibutuhkan dukungan dari 1.253 orang sehat,” tutur Maya menjelaskan.

BPJS Kesehatan mencatat hingga akhir 2015, jumlah pasien yang berobat ke layanan kesehatan mencapai 146,7 juta kunjungan dengan peserta mencapai 156,79 juta peserta. Jumlah pemberian layanan kesehatan 2015 ini meningkat 54,3 juta kunjungan dibandingkan tahun 2014 ketika program diperkenalkan. Kala itu layanan yang diberikan baru 92,2 juta kunjungan dengan peserta 133,4 juta orang.

 

BERBENAH MENUJU JAMINAN LAYANAN KESEHATAN SEMESETA

Doni Arianto, Kepala Bidang Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan menuturkan selain meningkatkan kepatuhan peserta, pemerintah juga terus memperbaiki skema Jaminan Kesehatan Nasional. Dia mengatakan jika masalahnya hanya soal fisik seperti gedung dan ruang kamar di rumah sakit, pemerintah memiliki kemampuan untuk melakukan pembangunan. Akan tetapi di balik infrastruktur fisik dibutuhkan  sumber daya manusia yang memerlukan waktu untuk memenuhinya.

Lebih lanjut dia menjelaskan, berdasarkan standar World Health Organization (WHO) jumlah tempat tidur dan ketersediaan dokter di pusat layanan kesehatan di Indonesia telah mencukupi. Akan tetapi setelah dilihat lebih jauh ternyata masalahnya terjadi penumpukan tenaga kesehatan di pusat-pusat ekonomi. Dia menyatakan pemerintah tengah mengupakan para dokter ini dapat tersebar lebih merata.

Selain mengatur sebaran tenaga kesehatan, sejumlah upaya dilakukan mengurangi antrian untuk pasien BPJS Kesehatan. Salah satunya, saat ini kementerian tengah menyiapkan rumah sakit rujukan nasional yang tersebar di sejumlah wilayah. Dengan skema ini, pasien tidak semuanya harus dikirim ke Jakarta. Pengobatan dapat dilakukan pada tingkat wilayah.

Doni menyatakan dengan skema ini diharapkan berlakunya jaminan kesehatan semesta ( universal health coverage) pada 2019 tidak menimbulkan kehebohan dan kekecewaan baru. Pada masa itu seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah lebih dari 250 juta orang wajib tergabung ke dalam JKN yang dijalankan oleh BPJS Kesehatan.

Sementara itu, menurut Maya, BPJS Kesehatan turut mendorong fasilitas kesehatan primer sebagai pintu utama mengurai antrian sebelum jaminan semesta diterapkan. Dia mengatakan saat ini BPJS telah menerbitkan aturan dimana 154 jenis penyakit sederhana wajib diselesaikan di tingkat dokter keluarga dan puskesmas.

Pihaknya juga mendorong upaya pencegahan. Tanpa tindakan preventif ini, jelas Maya, pusat layanan kesehatan tidak akan sanggup menampung pasien. Dia mengharapkan dokter keluarga serta tenaga kesehatan yang dibayar melalui metode kapitasi (dibayar di muka tanpa mempertimbangkan jumlah layanan kesehatan yang diberikan) dapat berperan lebih besar dengan menjadi agen pendorong hidup sehat.

"Kami akan menuntut layanan rumah sakit [agar sesuai dengan komitmen], tapi [agar masyarakat puas dengan jaminan kesehatan nasional] maka layanan harus digeser ke layanan primer. Penerapan universal covarage harus mengutamakan pencegahan," kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Anggara Pernando
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper