Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Indonesia Laboratorium Riset Terorisme

Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Pol. Tito Karnavian menilai Indonesia merupakan laboratorium untuk melakukan riset tentang terorisme.
Menara Eiffel disinari lampur berwarna putih, merah dan biru sesuai warna bendera Prancis sebagai penghormatan kepada korban tewas serangan teroris di Paris, Jumat (13/11/2015)/Reuters
Menara Eiffel disinari lampur berwarna putih, merah dan biru sesuai warna bendera Prancis sebagai penghormatan kepada korban tewas serangan teroris di Paris, Jumat (13/11/2015)/Reuters

Kabar24.com, JAKARTA -- Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Pol. Tito Karnavian menilai Indonesia merupakan laboratorium untuk melakukan riset tentang terorisme.

Alasannya, kata mantan Kepala Densus 88 itu, jauh sebelum kelompok teroris global yang ditandai peristiwa penyerangan menara kembar World Trade Center, Indonesia sudah memiliki Negara Islam Indonesia.

"Home ground teroris sebelum nine eleven [penyerangan WTC] ada sejumlah peristiwa teorisme yang dilakukan NII," katanya dalam diskusi di Goethe Institute, Jakarta, Kamis (26/11/2015).

Ditambah dengan jaringan global yang dibawa para mujahidin jebolan perang Afghanistan kala melawan Uni Soviet, mereka membawa paham radikalisme itu ke Indonesia.

" Itu diekspor ke mana-mana di Indonesia melalui Jamaah Islamiyah," katanya.

Dengan demikian, sambung Tito, ada sejumlah ideolog, militan, dan suporter kelompok teroris di Indonesia. Karena itu, bagi para akademisi, Indonesia adalah ladang untuk mengkaji gerakan terorisme.

Meskipun demikian, Tito mengatakan selain upaya deradikalisasi dari pemerintah, peran masyarakat juga diperlukan untuk mencegah radikalisasi. Sebab kepolisian dan intelijen kesulitan menjangkau hingga ke pelosok desa dan kelurahan. Walaupun demikian hal tersebut mesti didukung dengan sistem pelaporan secara online agar aparat dapat segera bertindak.

Selain Tito hadir sebagai pembicara dalam seminar itu Editor Radio Jerman Deutschlandfunk dan pakar Islam Thorsten Gerald Schneiders, dan Direktur Institute for Policy of Conflict (IPAC) Sidney Jones.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Dika Irawan
Editor : Nancy Junita

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper