Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Natatex Prima Lolos dari Jerat PKPU

PT Natatex Prima Corp lolos dari status penundaan kewajiban pembayaran utang setelah majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta menolak permohonan yang diajukan salah satu kompetitornya.

Bisnis.com, JAKARTA—PT Natatex Prima Corp lolos dari status penundaan kewajiban pembayaran utang setelah majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta menolak permohonan yang diajukan salah satu kompetitornya.

Dalam sidang putusan yang digelar pada Selasa (3/11/2015), majelis hakim yang dipimpin oleh Kisworo menolak permohonan tersebut lantaran utang yang tidak sederhana. “Menolak permohonan PKPU untuk seluruhnya,” ujar Kisworo dalam amar putusannya.

Tidak sederhanya utang termohon kepada PT Tiga Bintang Manunggal dikarenakan kedua belah pihak masih memperdebatkan siapa yang berutang pada siapa. Hal itu, menurut majelis hakim, membutuhkan pembuktian lebih lanjut dan menjadikan utang termohon tidak sederhana.

Dalam berkas gugatan perkara No. 78/PDT.SUS.PKPU/2015/PN.JKT.PST itu, pemohon menyatakan termohon memiliki utang US$98.158. Utang tersebut berasal dari perjanjian dagang. Pemohon menyatakan pihaknya sebagai penjual benang dan kapas, sementara termohon adalah pembeli.

Pertengahan 2011 sampai dengan tahun 2012, pembayaran dari termohon PKPU disebutkan mulai tidak lancar. Namun karena hubungan dagang yang telah terjalin dengan termohon, pemohon tetap mengirim barang baik berupa benang maupun kapas.

“Tetapi pembayaran tetap tidak lancar sehingga utang termohon PKPU semakin bertambah besar,” ujar kuasa hukum pemohon dalam berkas gugatannya. Termohon juga disebutkan memiliki utang kepada kreditur lain, yaitu PT Multikimia Intipelangi.

Sementara itu, dalam jawabannya, termohon yang diwakili Ngurah Anditya Ari Firnanda selaku kuasa hukum menyatakan dalil tersebut tidak benar dan menyesatkan. Dia menjelaskan, pada 2013, antara pemohon dan termohon terjalin kerja sama bagi hasil jual beli benang.

Dalam kerja sama tersebut, lanjut Anditya, kliennya mengirim benang kepada pemohon sebanyak 2.673 bale dengan nilai total US$ US$1,83 juta atau setara Rp24 miliar.

“Sampai sekarang, pemohon tidak pernah melaporkan hasil penjualan benang tersebut kepada termohon,” ungkapnya. Pemohon juga disebutkan belum memberikan pembagian keuntungan milik termohon sebesar 10% atau senilai Rp2,49 miliar.

Atas perdebatan tersebut, majelis hakim menilai perlu adanya bukti lebih lanjut atas dalil-dalil yang disampaikan para pihak. “Apakah termohon memiliki utang kepada pemohon? Atau sebaliknya, itu perlu dibuktikan lebih lanjut,” kata Kisworo.

Ditemui usai persidangan, Anditya menyabut baik putusan majelis hakim. Menurutnya memang utang yang diajukan pemohon tidak dapat dibuktikan secara sederhana.

Menurutnya, yang sebenarnya terjadi adalah hubungan dagang. “Hubungan kerjasama klien kami sebagai produsen pembuat benang mengirim kepada pemohon, lalu pemohon nanti yang menjual dan hasil dari penjualannya dibagi dua. Justru mereka yang berhutang,” paparnya.

Sementara itu, kuasa hukum pemohon Ferizal mengaku kecewa dengan putusan hakim. Menurutnya, kontrak penjualan atau sales contract adalah bentuk perjanjian. Tetapi, termohon menyatakan itu bukan bentuk perjanjian. Majelis hakim pun berpendapat demikian.

Ditanya apakah pihaknya akan mengajukan permohonan PKPU lagi, Ferizal menyatakan belum memutuskan langkah hukum selanjutnya. “Kami akan bicarakan lagi dengan klien,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper