Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sejarah TKI NTT, Sudah Ada Sejak Inggris Jajah Malaysia

Sejarah TKI asal NTT tidak bisa lepas dari Flores Timur (Flotim). Orang Lamaholot-sebutan untuk suku di Flores Timur dan Lembata- telah bekerja di Malaysia sejak zaman British di Malaysia.
Wakil Bupati Flores Valentinus Tukan/Jibi
Wakil Bupati Flores Valentinus Tukan/Jibi

Sejarah TKI asal NTT tidak bisa lepas dari Flores Timur (Flotim). Orang Lamaholot-sebutan untuk suku di Flores Timur dan Lembata- telah bekerja di Malaysia sejak zaman British di Malaysia.

Konon, generasi pertama orang Lamaholot yang bekerja ke Negeri Jiran pergi menggunakan perahu nelayan dengan waktu tempu hingga berbulan-bulan. Motivasi awal untuk pergi hingga ke Malaysia ialah ingin melihat dunia luar dan mencari hidup yang lebih baik.

Semua kesaksian itu dituturkan oleh masyarakat Lamaholot di beberapa lokasi di Flotim Daratan, Pulau Adonara, dan Pulau Solor yang sempat dikunjungi Bisnis. Mereka mengklaim banyak orang Lamaholot yang telah menjadi warga negara Malaysia dan memiliki pekerjaan yang layak seperti menjadi polisi, perawat dan guru.

Kebiasaan pergi bekerja di luar negeri itu terpelihara dengan baik, bahkan sudah “membudaya”. Sejak dahulu hingga kini, orang Lamaholot masih bepergian dengan cara tradisional. Semua biaya perjalanan ditanggung oleh calon TKI atau lebih dikenal dengan TKI swadaya.

Motivasi merantau pun bergeser dari keinginan menjelajah lautan menjadi semata-mata alasan ekonomi yakni ingin hidup lebih baik dan memperbaiki nasib keluarga melalui pendidikan anak. Tidak dapat disangkal uang hasil keringat di negeri jiran terbukti lebih membuat keluarga TKI lebih sejahtera.

Penduduk Desa Lewograran di Pulau Solor, misalnya telah beberapa generasi secara turun-temurun telah pergi berkerja di Malaysia. Menjadi TKI nyatanya telah memberikan kehidupan ekonomi dan sosial yang lebih baik.

Kepala Desa Legograran Bonefasius Belang menarasikan mayoritas pembangunan fasilitas umum seperti air minum, rumah ibadah, dan perumahan menggunakan uang keringat di negeri Jiran. Mereka secara sukarela menyisihkan uang gaji mereka untuk berkontribusi dalam pembangunan desa.

“Sekitar 60% pembangunan fasilitas umum seperti air minum dan rumah ibadah dan lainnya berasal dari TKI, sisanya pemerintah. Saya berkoordinasi dengan para TKI menggunakan Facebook,” ujarnya.

Bonefasius yang sekaligus Paralegal dari CBO Balanawa menuturkan sebagai kepala desa, dirinya selalu memberikan pesan supaya menjadi TKI secara resmi dan memanfaatkan jasa lembaga keuangan untuk pendanaan.

Pasalnya, pilihan menjadi TKI merupakan hak pribadi sehingga pemerintah desa hanya mampu mendukung dengan mempermudah pengurusan dokumen. Kemudahan memberikan dokumen itu menyebabkan minat untuk bepergian secara resmi meningkat.

“Namun, saya pesan mereka supaya ingat dan rutin kirim uang untuk keluarga. Di sini saya setiap minggu keempat dalam bulan saya selalu umumkan menggunakan microfone supaya uang kiriman itu ditabung di bank atau koperasi,” imbuhnya.

Tumbuhnya kesadaran menabung dari keluarga TKI mendorong CBO yang bekerja sama dengan Delsos Keuskupan Larantuka untuk merintis usaha simpan pinjam (USP) dengan kas sejauh ini sebesar Rp5 juta.

Dana itu diproyeksikan terus meningkat karena banyak keluarga TKI mulai secara rutin menabung. USP juga menjadi satu lembaga yang membantu warga yang kesulitan mengakses pinjaman dan menghindari tingginya suku bunga.

Adapun selama ini, warga yang hendak menjadi TKI swadaya lebih banyak menggunakan jasa rentenir dengan bunga selangit. Pinjaman sebesar Rp1 juta misalnya harus dibayar Rp2 juta dalam jangka waktu setahun.

Sistem bunga 100% itu juga berlaku di Pulau Adonara, Flores Timur. Dalam beberapa kasus jika selama 2 tahun pinjaman itu belum dikembalikan maka sang rentenir akan mengambil ladang atau aset milik peninjam sehingga posisi keluarga yang ditinggalkan menjadi sangat terjepit.

“Sekitar 50% warga kami yang ke Malaysia menggunakan cara swadaya. Pinjam ke bank butuh jaminan sehingga lebih memilih ke rentenir,” ujar Sekretaris CBO Kiprah Muda Harun Bahy di Desa Weranggere di Pulau Adonara.

Guna meminimalisir pratik rentenir, CBO Kiprah Muda di Desa Weranggere juga membentuk USP. Saat ini USP keluarga TKI telah memiliki kas sebesar Rp13,7 juta.

Parafinance CBO Kiprah Muda Idrus Bahy mengatakan salah satu kerinduan banyak keluarga TKI ialah bisa memiliki usaha produktif di kampung halaman karena sangat berat harus meninggalkan keluarga.

CBO Kiprah Muda terus menganimasi warga untuk mengemangkan pangan lokal dan meningkatkan value added komoditas lokal.

“Namun, kami kesulitan di pemasaran. Minyak kelapa misalnya sangat terbatas yang bisa kami jual. Tujuan kami sebenarnya ingin membuat supaya pilihan merantau bukan menjadi pilihan pertama di tengah kesulitan ekonomi,” jelasnya.

Ditemui di kantornya, Wakil Bupati Flores Timur Valentinus Tukan mengatakan setiap hari selalu ada warga Flores Timur yang pergi ke luar dengan tujuan utama Malaysia melalui Nunukan. Pelbagai dokumen untuk menjadi TKI diurus di Nunukan dengan alamat di sana.

Dia mengklaim jumlah TKI asal Flores Timur sejak 2005-2014 terdata hanya kurang dari 1.000 orang. Namun, angka itu diragukan mengingat data sampel survei yang dilakukan Delsos Keuskupan Larantuka dari hanya 10 Desa di Flores Timur mencapai 1.155 orang.

Adapun, saat ini Kabupaten Flores Timur telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) No.11/2013 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri. Atas dasar Perda itu, Kab Flores Timur juga telah memiliki peraturan desa (perdes) terkait TKI.

Namun, payung hukum itu masih tumpul dalam implementasi karena masih banyak warga yang memiliki jalur tidak resmi melalui Nunukan. “Tahun ini tidak ada anggaran untuk masalah TKI.

Pada tahun ini hanya untuk biaya penjajakan kerja sama dengan pemkab Nunukan untuk pengurasan imigrasi warga Flores Timur,” jelas Yoseph Matutina, Kepala Bidang Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Ketua Badan Legislasi DPRD Flores Timur Agutinus Payong Boli mengklaim kerja sama dengan pemkab Nunukan terkait TKI menjadi yang pertama di Indonesia sehingga perlu dukungan dari pemerintah pusat. “Pintu keluar paling besar itu di Nunukan sehingga kerja sama itu sangat strategis,” paparnya.

Menurutnya, sejak 2013 warga Flores Timur yang berangkat ke Nunukan umumnya telah memiliki paspor yang diurus di Maumere, Kabupaten Sikka. Namun, saat di Nunukan calon TKI itu diminta mengurus ulang semua dokumen dengan menggunakan alamat di Nunukan.

Para calon TKI itu terpaksa merogoh koceknya sebesar Rp800.000 hingga Rp1 juta untuk mendapatkan semua dokumen mulai dari KTP, paspor, dan visa. Dia mensinyalir banyak calo yang bermain dalam pengurusan dokumen itu.

Menurutnya, pemerintah pusat perlu melakukan revisi UU 39/2004 tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri, dengan memberi penekanan pada pasca menjadi TKI. Pasalnya, banyak mantan TKI yang memilih menjadi TKI lagi karena tidak menemukan lapangan kerja yang cocok di dalam negeri.

“Selanjutnya, pemerintah pusat perlu mengatur kerja sama antarnegara untuk pengiriman TKI karena menyerahakan pengiriman TKI kepada pihak swasta terbukti sangat amburadul.”

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Thomas Mola

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper