Bisnis.com, JAKARTA--Hubungan bisnis yang bersifat kontraktual tak luput dari adanya sengketa. Perbedaan interpretasi beberapa klausul seringkali menyulut perselisihan.
Meningkatnya kecenderungan penyelesaian sengketa di luar pengadilan bagi para pebisnis ternyata tidak terjadi bagi Badan Usaha Milik Negara.
Perusahaan-perusahaan plat merah masih enggan menggunakan mediasi sebagai proses penyelesaian sengketa.
Padahal alternatif penyelesaian sengketa termasuk mediasi digadang-gadang lebih menguntungkan dibandingkan jalur litigasi.
Proses mediasi yang cepat, terjaganya kerahasiaan serta hasil yang win-win solution konon disukai para pebisnis.
Jalur di luar pengadilan ini juga dapat tetap menjaga hubungan baik dengan rekan bisnis. Hal ini lantaran hasil yang tidak merugikan salah satu pihak.
Berdasarkan data Pusat Mediasi Indonesia, pada periode 2004-2013 sebanyak 43% sengketa yang bergulir di lembaga ini adalah terkait dengan bisnis.
Namun, dalam rentang waktu tersebut baru ada satu perusahaan negara yang menggunakan mediasi sebagai penyelesaian sengketa.
"Selama ini baru ada satu BUMN yang mediasi di tempat kami. Sisanya swasta dan individu," ujar Direktur Eksekutif Pusat Mediasi Nasional, Fahmi Shahab kepada Bisnis disela acara 1st Symphosium for Arbitrators and Mediators, Senin (2/12).
Padahal menurut Fahmi, mediasi sangat efektif dalam proses penyelesaian sengketa bisnis.
PMN mencatat 96% dari total sengketa yang diselesaikan melalui mediasi, dapat mencapai kesepakatan.
Angka ini lebih tinggi dari penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang tingkat kesuksesannya hanya menyentuh angka 27%.
Menurutnya mediasi akan sangat menguntungkan, terutama dalam menyelesaian sengketa era Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.
"Mediasi tidak mempermasalahkan batas wilayah. Kalau pengadilan dan arbitrase kan dipertanyakan hukum [negara] mana yang dipakai," tuturnya.
Sedikitnya BUMN yang menggunakan mediasi menurut Fahmi, disinyalir adanya kekhawatiran terkait dengan kesepakatan yang dihasilkan.
"Dikhawatirkan kesepakatan berpotensi merugikan negara, sehingga BUMN yang beracara di mediasi tidak merasa aman," ucap Fahmi.
Hal serupa juga disampaikan Arbitrator dan Mediator senior di Badan Arbitrase Nasional Indonesia, Mieke Komar.
Menurut Mieke seringkali kesepakatan di luar Pengadilan disalah artikan sebagai "kongkalikong" antar perusahaan.
Mieke menjelaskab terjadi kesalahan persepsi yang menyatakan kesepakatan di luar pengadilan dapat menimbulkan kerugian negara.
Padahal, kesepakatan mediasi dapat dipertanggungjawabkan dan berkekuatan hukum.
Setelah mencapai kesepakatan, hasil tersebut dilaporkan ke pengadilan dan dapat langsung dieksekusi, kata Mieke.
Dia menilai jalur litigasi lebih dipilih oleh BUMN karena terbuka dan transparan. Dengan demikian sengketa mudah dipantau oleh publik dan tidak menimbulkan kecurigaan.
Perbedaan persepsi inilah yang menurut Mieke harus diubah, sehingga otoritas dapat melihat mekanisme mediasi sebagai suatu penyelesaian sengketa yang efektif.
Fahmi melalui PMN juga sedang mengupayakan sosialisasi keuntungan mediasi agar banyak digunakan para pebisnis baik swasta maupun pemerintah.
"Mudah-mudahan tahun depan akan ada lanjutan proyek yang dibantu lembaga uni eropa dan BKPM [Badan Koordinasi Penanaman Modal] untuk perluasan materi dan sosialisasi mediasi di mana badan pemerintah bisa memanfaatkan forum mediasi, tanpa kekhawatiran dicurigai." tambah Fahmi.
Sosialisasi ini menjadi penting karena selain mengurangi penumpukan perkara di pengadilan, juga menghadapi MEA 2015. Dapatkah sosialisasi ini mengubah perspektif mengenai mediasi? Semoga.
BUMN Masih Enggan Mediasi untuk Selesaikan Sengketa
Hubungan bisnis yang bersifat kontraktual tak luput dari adanya sengketa. Perbedaan interpretasi beberapa klausul seringkali menyulut perselisihan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Annisa Lestari Ciptaningtyas
Editor : Rustam Agus
Topik
Konten Premium