Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

TES KEPERAWANAN CALON POLWAN: Diskriminasi Perempuan?

Seorang perempuan berusia 19 tahun ingin menjadi polisi wanita. Dia lalu mendaftar di Pekanbaru tahun ini. Namun pada tahap tes kesehatan, dia merasakan malu yang amat sangat. Apa pasal?
Polwan berjilbab/ilustrasi
Polwan berjilbab/ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA--Seorang perempuan berusia 19 tahun ingin menjadi polisi wanita. Dia lalu mendaftar di Pekanbaru tahun ini. Namun pada tahap tes kesehatan, dia merasakan malu yang amat sangat.

Pengalaman itu diceritakannya kepada Human Right Watch, sebuah organisasi internasional yang bergerak di bidang Hak Asasi Manusia.

Dia melakukan tes kesehatan di aula Sekolah Kepolisian Negara. Sekitar 20 perempuan diminta masuk ke aula dan buka baju, termasuk pakaian dalam. Hanya yang sedang menstruasi yang tetap bisa pakai celana.

“Kami diminta duduk di meja khusus perempuan melahirkan. Dokter perempuan melakukan tes keperawanan dengan tes dua jari,” kata perempuan belia yang identitas dirinya dirahasiakan. Dia mengaku tidak gugup, sebab masih perawan. Namun, rasa malu tak bisa ditahan.

Baginya, itu adalah pengalaman buruk. Sebagai perempuan, dia merasa didiskriminasikan. “Mengapa kita harus buka baju di depan orang yang tidak dikenal? Ya.. [penguji keperawanan] memang perempuan, tapi kami tidak saling kenal. Itu diskriminasi. Saya rasa itu tidak perlu,” ungkapnya.

Pengalaman serupa juga dialami seorang perempuan berusia 18 tahun di Bandung. Dia ikut seleksi polwan pada 2013. Dia mendapat informasi kalau ada tes kesehatan dan tes bagian dalam. Dia kaget ketika tahu kalau tes bagian dalam itu adalah tes keperawanan.

“Saya merasa malu, deg-degkan tapi saya juga tidak bisa menolak. Kalau saya menolak saya tidak bisa mengikuti tes polwan,” ujarnya.

Dia menjalani proses tes yang sama seperti yang dialami perempuan sebelumnya di Pekan Baru. Dia merasa malu dan takut ketika petugas melakukan tes dua jari. Dia bahkan melihat ada rekannya yang pingsan.

Ada sangat banyak perempuan-perempuan lain yang juga mengalami tes yang sama, dan mungkin juga merasakan perasaan yang sama.

Bahkan seorang komisaris besar bernama Sri Rumiati, seorang psikolog polisi juga pernah mengalami hal yang sama. Sri masuk polisi pada 1984 melalui wajib militer. Dia menjalani tes keperawanan di Rumah Sakit Tentara di Semarang. Kini Sri mengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian di Jakarta.

Sebagai psikolog, Sri terlibat dalam proses seleksi polisi. Secara internal, dia melakukan protes terhadap tes keperawanan bagi calon polwan. “Saya cinta institusi saya. Saya ingin Kepolisian Indonesia menjadi penegak hukum yang berwibawa,” katanya.

Dia menjelaskan, banyak peraturan di Indonesia—Undang-undang Dasar 1945, UU 1984 ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dan Undang-undang Hak Asasi Manusia tahun 1999—melarang diskriminasi terhadap perempuan.

“Bagaimana kepolisian bisa menegakkan hukum di Indonesia kalau mereka sendiri tidak mematuhi hukum negara?” tanyanya.

Pada 1997 Sri ikuti dengar pendapat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membahas praktek ini bersama  Nursyahbani Katjasungkana, seorang pengacara. Sayangnya, mereka tidak sepenuhnya berhasil membuat DPR menghapus tes ini.

Sri kemudian menceritakan, pada 2010, Brigadir Jenderal Sigit Sudarmanto, Asisten Kepolisian Bidang Sumber Daya Manusia, mengadakan rapat teknis seleksi calon polisi baru.

Dia mencoba bicara lagi, dia minta semua tim hentikan tes keperawanan. Tapi rekan Sri, termasuk yang bekerja untuk Pusat Kedokteran dan Kesehatan, menentang gagasannya. Mereka bilang, “Apakah kita mau pelacur masuk polisi?”

Sri kemudian bertanya pada rekan-rekannya, “Apakah ada penelitian ilmiah bahwa perempuan yang tidak perawan kurang produktif dibanding yang perawan? Apakah ada penelitian ilmiah yang menyatakan perempuan yang tidak perawan pasti lebih buruk dibanding yang masih perawan?”

Kesimpulan pada pertemuan itu, Jenderal Sigit memerintahkan tes keperawanan dihentikan. “Saya tidak tahu mengapa itu masih berlangsung sampai sekarang,” ungkap Sri.

Kisah itu diungkapkan kepada Human Right Watch. Setelah melewati berbagai wawancara dan analisa soal tes keperawanan di Indonesia, HRW kemudian menyatakan pemerintan Indonesia melakukan diskriminasi dan merendahkan para calon polisi perempuan.

Kepada Bisnis, Nisha Varia, Direktur HRW bidang hak perempuan menyatakan pihaknya telah melakukan wawancara polwan maupun pelamar polwan di enam kota di Indonesia.

Nisha mengatakan, pelamar yang terbukti "tidak perawan" bukan berarti tak bisa masuk kepolisian, tapi semua narasumber menjelaskan tes itu menyakitkan dan membuat trauma. Beberapa polwan sudah bahas masalah ini dengan bagian personalia Kepolisian Indonesia, yang saat itu menyatakan praktek tersebut harus dihentikan.

Namun tes keperawanan masih tercantum sebagai salah satu syarat yang harus dijalani pelamar polwan di website rekrutmen polisi, dan hasil wawancara HRW menegaskan tes itu memang masih dilakukan hingga kini.

“Markas Besar Kepolisian di Jakarta harus segera hapus tes ini, dan memastikan seluruh jajaran kepolisian menghentikannya," kata Nisha.

Tes tersebut bertentangan dengan Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia soal seleksi calon polisi harus non-diskriminasi dan humanis, serta melanggar hak asasi internasional tentang kesetaraan, non-diskriminasi dan pribadi.

Pemaksaan terhadap tes ini merupakan suatu kekejaman, tak manusiawi, serta merendahkan martabat perempuan di mata hukum internasional.

Antara Mei hingga Oktober 2014, HRW mewawancarai delapan polisi dan pensiunan polisi, maupun para pelamar polwan, plus dokter polisi, tim evaluasi seleksi polisi, anggota Komisi Kepolisian Nasional, serta aktivis perempuan.

Wawancara dilakukan di Bandung, Jakarta, Padang, Pekanbaru, Makassar, dan Medan. Semua perempuan yang telah menjalani tes mengatakan rekan mereka satu angkatan juga melewati tes serupa.

Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Ronnie Frangky Sompie menyebutkan kalau tes yang dilakukan kepada para calon polwan itu bukanlah tes keperawanan, melainkan sebuah tes kesehatan yang menyeluruh. Dia menganganggap wajar tes seperti itu dilakukan.

‘Tes keperawanan’ ini dilakukan berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Penerimaan Calon Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 36 menyebutkan calon anggota perwira perempuan harus menjalani pemeriksaan obstetrics dan gynaecology (rahim dan genitalia).

Meski peraturan tersebut tak secara gamblang menyebut ‘tes keperawanan’, dua polwan senior mengatakan pada HRW bahwa ‘tes keperawanan’ sudah lama ada. Tes dilakukan pada awal proses seleksi kesehatan sebagai bagian dari pemeriksaan fisik.

Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokkes Polri) biasa melakukan tes ini di rumah sakit Bhayangkara. HRW menemukan bahwa pemeriksaan rahim dan genitalia termasuk ‘tes dua jari’ untuk menguji keperawanan pelamar polwan.

Sebuah memo buatan 2012 oleh sebuah organisasi internasional, yang terlibat dengan training Kepolisian Republik Indonesia, mengutip surat seorang jenderal polisi pada Juli 2008 ditujukan kepada Akademi Kepolisian di Semarang, dimana dijelaskan tes keperawanan perlu dilakukan untuk memastikan keperawanan calon kadet di Semarang.

Website pendaftaran Kepolisian Republik Indonesia pada 5 November 2014 menyebutkan, "Selain tes medis dan fisik, para perempuan yang ingin menjadi polisi wanita juga harus menjalani tes keperawanan. Jadi semua perempuan yang ingin menjadi polisi wanita harus menjaga keperawanan mereka." Perempuan yang sudah menikah tak memenuhi syarat untuk pekerjaan itu.

Kepolisian Republik Indonesia berencana meningkatkan 50 persen jumlah polisi perempuan, menjadi 21 ribu tahun ini. Dengan total sekitar 400.000 polisi, tambahan polwan tersebut akan meningkatkan persentasenya, dari 3% menjadi 5%.

April lalu, pihak kepolisian merekrut besar-besaran. Sekarang sebanyak 7.000 kadet polwan menjalani latihan 7 bulan di delapan sekolah polisi di Jawa dan Bali.

Yefri Heriyani, direktur Nurani Perempuan di Padang, yang kenal dan sering bekerja sama dengan banyak polwan selama 12 tahun terakhir, mengatakan bahwa tes keperawanan menimbulkan trauma.

“Saya banyak kawan dari kepolisian yang menceritakan sekian puluh tahun lalu mereka menjalani tes keperawanan. Menurut mereka, sangat menyakitkan sebetulnya. Negara tidak menyakini mereka orang yang baik-baik dan akan bekerja dengan baik. Mereka mengalami trauma ketika menghadapi tes keperawanan, merasa tidak nyaman, dan upaya pemulihan tidak dijalankan. Ini berdampak pada kehidupan mereka jangka panjang.”

Human Rights Watch mendokumentasikan “tes keperawanan"  di beberapa negara lain, termasuk Mesir, India dan Afghanistan. Human Rights Watch juga kritik "tes keperawanan" bagi anak sekolah di beberapa daerah di Indonesia. Tes tersebut melanggar hak asasi, penilaiannya subjektif dan sama sekali tak ilmiah

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor :
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper